Rabu, 06 Mei 2015

MID SEMESTER LANDASAN KEPENDIDIKAN



1.       a. Hukum sebagai landasan kependidikan. Khususnya pendidikan sejarah antara Era Orde Lama dan era orde baru dalam hal sejarah penggali pancasila berbeda persepsi antara keduanya. Bagaimana komentar anda dalam hal ini jelaskan !
JAWAB :
Secara ontologis : Pancasila mengandung kebenaran, kebaikan dan kebijaksanaan yang digali dari nilai-nilai luhur masyarakat Indonesia sehingga dijadikan sebagai idiologi bangsa Indonesia.
Sedangkan secara epistimologi politik dan hukum :

RESUME METODOLOGI PENELITIAN KUALITATIF



A.  Pengertian Penelitian Kualitatif
Beberapa ahli mengemukakan tentang definisi penelitian kualitatif yaitu Bogdan dan Taylor (1975 : 5 ) mengemukakan penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Kirt dan Miller mengemukakan penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung dari pengamatan pada manusia baik dari kawasannya maupun dalam peristilahannya. David Williams (1995) menulis bahwa penelitian kualitatif adalah pengumpulan data pada suatu latar alamiah dengan menggunakan metode alamiah dan dilakukan oleh orang atau peneliti yang tertarik secara alamiah. Denzim dan Lincoln 1987 menyatakan bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang menggunakan latar alamiah, dengan maksud menafsirkan fenomena yang terjadi dan dilakukan dengan jalan melibatkan berbagai metode yang ada. Terakhir menurut Jane Richie, Penelitian kualitatif adalah upaya untuk menyajikan dunia sosial, dan perspektifnya di dalam dunia, dari segi konsep, perilaku, persepsi dan persoalan tentang manusia yang diteliti.

RESUME TINJAUAN PUSTAKA



TINJAUAN PUSTAKA

            Penelitian ilmiah merupakan kegiatan yang dilakukan secara sistematis,  terkontrol, empiris, dan kritis, tentang fenomena-fenomena alami, dengan di pandu oleh teori dan hipotesis. Langkah awal yang sangat menentukan dalam sebuah penelitan adalah menentukan topik penelitian yang benar-benar mendesak untuk diteliti. Selain itu akses terhadap partisipan/sampel, sumber-sumber lain, dan memiliki ketersediaan literatur penting untuk dipertimbangkan. Kajian pustaka tidak hanya membantu memverifikasi masalah-masalah penelitian, tetapi juga membantu merumuskan masalah, merumuskan hipotesis, dan penyusunan instrument penelitian. Umumnya seorang peneliti setelah mengidentifikasi topik yang dapat dan perlu di teliti ingin segera memulai melakukan penelitian, tanpa melakukan penyelidikan secara sungguh-sungguh mengenai apa yang diketahui orang lain dalam bidang kajian yang akan ditelitinya. Topik penelitian tersebut harus di kaitkan dengan pengetahuan yang relevan, seperti hasil penelitian,  jurnal, disertasi, dan buku yang memiliki topik yang sama. 

Tugas Landasan Kependidikan



SOAL :
Ahmadiyah mempercayai bahwa nabi terakhir bukan nabi Muhammad sedangkan NU dan Muhammmadiyah mempercayai nabi terakhir adalah nabi Muhammad. Akibatnya terjadi kontradiksi dalam keyakinan yang menimbulkan konflik. Analisis dalam konteks sosial !
JAWABAN :
Konflik antar umat agama Islam di Indonesia terkait permasalahan ahmadiyah sudah sering terjadi. Penolakan dan berakhir dengan tindak kekerasan yang memakan banyak korban, pengrusakan tempat ibadah dan penyerangan menunjukkan konflik yang terjadi membutuhkan penanganan serius. Berikut ini akan diuraikan beberapa solusi yang bisa dilakukan untuk mengatasi hal tersebut :
1.       Epistimologi Agama
                Secara epistimologi agama bisa dilakuakan dengan dialog. Menurut sudut pandang umum umat Islam, ajaran Ahmadiyah (Qadian) dianggap melenceng karena mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi (Isa al Masih dan Imam Mahdi). Hal ini bertentangan dengan pandangan umum Islam yang mempercayai Nabi Muhammad SAW sebagai nabi terakhir, walaupun juga mempercayai kedatangan Isa al Masih dan Imam Mahdi setelah masa Beliau (Isa al Masih dan Imam Mahdi akan menjadi umat Nabi Muhammad SAW). Perbedaan Ahmadiyah dengan Islam secara umum adalah bahwa Ahmadiyah menganggap bahwa Isa al Masih dan Imam Mahdi telah datang ke dunia seperti yang telah dinubuwwatkan Nabi Muhammad SAW, sedangkan umat Islam pada umumnya mempercayai bahwa Isa al Masih dan Imam Mahdi belum turun ke dunia. Di luar hal tersebut permasalahan lain hanya sebatas perbedaan penafsiran ayat-ayat al Quran saja. Ahmadiyah sering dikaitkan dengan kitab Tazkirah. Tazkirah ini sebenarnya bukan kitab suci warga Ahmadiyah, melainkan buku berisi kumpulan pengalaman rohani pendiri Jemaat Ahmadiyah, layaknya jurnal. Buku ini tidak dimiliki setiap warga Ahmadiyah pegangan dan pedoman hidup hanyalah Al Quran-ul-Karim saja. Beberapa sumber menyebutkan bahwa Kota suci Jemaat Ahmadiyah adalah Qadian dan Rabwah. Hal ini tidak benar, kota suci Jemaat Ahmadiyah adalah sama dengan kota suci umat Islam lainnya, yakni Mekkah dan Madinah. Ahmadiyah Lahore mengakui bahwa Mirza Ghulam Ahmad hanyalah mujaddid dan tidak disetarakan dengan posisi nabi, sesuai keterangan Gerakan Ahmadiyah Indonesia (Ahmadiyah Lahore) untuk Indonesia yang berpusat di Yogyakarta.
            Di luar uraian tersebut di atas, masih banyak kontroversi dan hitam putih persepsi yang tidak bisa disamakan antara Jemaat Ahmadiyah dan umat muslim fundamentalis. Tahap pertama perlu tetap mengedepankan dialog tokoh kelompok muslim fundamentalis dan ahmadiyah untuk mendapatkan titik temu tentang perbedaan ajaran agama islam. Meskipun langkah ini sudah sering dilakukan dan dalam kenyataannya memang sulit mendapatkan kesepakatan karena masing-masing telah memegang prinsip. Namun tidak ada salahnya upaya menyelesaikan konflik melalui dialog terus dicoba sebagai langkah persuasive.

2.     Epistimologi Politik
            Secara epistimologi politik konflik ahamdiyah bisa diselesaikan dengan menggunakan managemen konflik. Ketegasan dari pemerintah dan jangan sampai terjadi pembiaran serta main hakim sendiri. Dalam kenyataannya memang politik lebih mengarah kepada kebenaran mayoritas, kekuasaan dan absolut. Keputusan yang dikeluarkan mengarah kepada kepentingan negara yaitu menghindari konflik walaupun sering gagal karena ada politik kepentingan kelompok tertentu. Secara epistimologi politik kita bisa mengkaji keberadaan ahmadiyah di Indonesia yaitu sebagai berikut :
a.      Terjadilah Proklamasi kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945. Di dalam meraih kemerdekaan itu tidak sedikit para Ahmadi Indonesia yang ikut berjuang dan meraih kemerdekaan. Misalnya (alm) R. Muhyiddin. Beliau dibunuh oleh tentara Belanda pada tahun 1946 karena beliau merupakan salah satu tokoh penting kemerdekaan Indonesia. Juga ada beberapa Ahmadi yang bertugas sebagai prajurit di Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, dan mengorbankan diri mereka untuk negara. Sementara para Ahmadi yang lain berperan di bidang masing-masing untuk kemerdekaan Indonesia, seperti (alm) Mln. Abdul Wahid dan (alm) Mln. Ahmad Nuruddin berjuang sebagai penyiar radio, menyampaikan pesan kemerdekaan Indonesia ke seluruh dunia. Sementara itu, muballigh yang lain (alm) Mln. Sayyid Syah Muhammad merupakan salah satu tokoh penting sehingga Soekarno, Presiden pertama Republik Indonesia, di kemudian hari menganugerahkan gelar veteran kepada beliau untuk dedikasi beliau kepada negara.
b.     Pada tahun lima puluhan, Jemaat Ahmadiyah Indonesia mendapatkan legalitas menjadi satu Organisasi keormasan di Indonesia. Yakni dengan dikeluarkannya Badan Hukum oleh Menteri Kehakiman RI No. JA. 5/23/13 tertanggal 13-3-1953. Ahmadiyah tidak pernah berpolitik, meskipun ketegangan politik di Indonesia pada tahun 1960-an sangat tinggi. Pergulatan politik ujung-ujungnya membawa kejatuhan Presiden pertama Indonesia, Soekarno, juga memakan banyak korban. Satu lambang era baru di Indonesia pada masa itu adalah gugurnya mahasiswa kedokteran Universitas Indonesia, Arif Rahman Hakim, yang tidak lain melainkan seorang khadim Ahmadiyah. Dia terbunuh di tengah ketegangan politik masa itu dan menjadi simbol bagi era baru pada masa itu. Oleh karena itu iapun diberikan penghargaan sebagai salah satu Pahlawan Ampera.
c.      Di Era 70-an, melalui Rabithah Alam al Islami semakin menjadi-jadi di awal 1970-an, para ulama Indonesia mengikuti langkah mereka. Maka ketika Rabithah Alam al Islami menyatakan Ahmadiyah sebagai non muslim pada tahun 1974, hingga MUI memberikan fatwa sesat terhadap Ahmadiyah. Sebagai akibatnya, Banyak mesjid Ahmadiyah yang dirubuhkan oleh massa yang dipimpin oleh ulama. Selain itu, banyak Ahmadi yang menderita serangan secara fisik.
d.     Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah menetapkan semenjak tahun 1980 tentang "sesatnya Jema’at Ahmadiyah Qadiyah yang berada di luar Islam"
e.      Periode 90-an menjadi periode pesat perkembangan Ahmadiyah di Indonesia bersamaan dengan diluncurkannya Moslem Television Ahmadiyya (MTA). Ketika Pengungsi Timor Timur yang membanjiri wilayah Indonesia setelah jajak pendapat dan menyatakan bahwa Timor Timur ingin lepas dari Indonesia, hal ini memberikan kesempatan kepada Majelis Khuddamul Ahmadiyah Indonesia untuk mengirimkan tim Khidmat Khalq untuk berkhidmat secara terbuka. Ketika Tahun 2000, tibalah Hadhrat Mirza Tahir Ahmad ke Indonesia datang dari London menuju Indonesia. Ketika itu beliau sempat bertemu dan mendapat sambuatan baik dari Presiden Republik Indonesia, Abdurahman Wahid dan Ketua MPR, Amin Rais.
f.      Lalu ditegaskan kembali pada fatwa MUI yang dikeluarkan tahun 2005 bahwa "Aliran Ahmadiyah, baik Qodiyani ataupun Lahore, sebagai keluar dari Islam, sesat dan menyesatkan".
g.     Dalam pembukaan dialog antarumat beragama di Semarang pada 8 November 2013, Menteri Agama Suryadharma Ali menyatakan solusi yang paling efektif untuk menyelesaikan permasalahan Ahmadiyah yakni pemberangusan atau deklarasi yang menyatakan Ahmadiyah merupakan agama baru. Ia juga menyatakan bahwa Menteri Agama tidak berwenang melarang praktik agama Ahmadiyah di Indonesia. Ia berkata: "Di Malaysia, agama itu jelas-jelas diharamkan. Sedangkan di Pakistan, Ahmadiyah dianggap agama minoritas non-Islam", "Menurut saya, memang harusnya dilarang saja, lebih efektif. Tapi bukan Menteri Agama yang melarang karena tidak punya hak. Dari sisi organisasinya itu hak Menteri Dalam Negeri untuk menghentikan, dari segi pelarang ajaran itu kewenangan Jaksa Agung. Sedangkan dari sisi badan hukum merupakan kewenangan Kementerian Hukum dan HAM".
            Dari uraian  di atas dapat dilihat bahwa terjadi pasang surut dalam penerimaan ahmadiyah di Indonesia karena setiap pemimpin memiliki cara yang berbeda dalam menyelesaikan perbedaan yang terjadi di masyarakat. Adapun yang bisa dilakukan dalam kajian epistimologi secara politik adalah . Pertama, strategi pemolisian internal dan masyarakat (internal and community policing). Dalam konteks ini, pemerintah mendorong para pihak memiliki mekanisme hukuman kepada siapa saja yang melakukan tindak kekerasan. Hal ini berlaku untuk semua aliran dan sekte pada masing-masing agama. Dalam konteks Islam, misalnya, MUI baru punya fatwa haram atau sesat bagi aliran teologi tertentu. Sementara tindak kekerasan yang dilakukan umat Islam belum mendapat perhatian yang serius. Sejauh ini, sikap MUI hanya terbatas pada pernyataan tidak membenarkan aksi-aksi kekerasan. Dibanding pernyataan “tidak membenarkan” fatwa MUI mengharamkan aksi kekerasan dapat mengedalikan umatnya. Kedua, pemerintah memperlakukan setiap warga negara setara di hadapan hukum. Dengan begitu, siapa saja yang melakukan tindak kekerasan, apa pun keyakinannya, akan dikenakan hukuman yang sama. Sebagaimana apresiasi yang sama diberikan kepada siapa saja yang berhasil mengedalikan jamaahnya menghindari aksi kekerasan dalam menyelesaikan konflik, apa pun keyakinannya. Memperlakukan setiap warga negara sama dihadapan hukum, pada akhirnya, mendorong pihak penegak hukum, khususnya kepolisian, untuk menindak tegas pelaku tindak kekerasan. Sikap tegas penegak hukum tidak akan bertentangan dengan isu hak asasi manusia sebab basis penegakkan hukumnya jelas, kekerasan fisik. Sikap pemerintah menghukum pelaku kekerasan, sejatinya, sama dengan mengakkan hak asasi itu sendiri. Masyarakat Indonesia punya kapasitas menyelesaikan konflik dengan cara damai. Tinggal bagaimana pemerintah mengelolanya dengan efektif dan bijaksana.

PERSPEKTIF SEJARAH



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
              Sejarah sangat tergantung pada pengalaman manusia. Pengalaman itu direkam dalam dokumen. Dokumen-dokumen itulah yang diteliti untuk menentukan fakta. Fakta-fakta itulah yang selanjutnya diinterpretasikan kemudian muncul tulisan sejarah. Meskipun ada perbedaan mendasar dengan ilmu alam, sejarah juga memiliki persamaan, yaitu sama-sama berdasarkan pengalaman, pengamatan, dan penyerapan. Akan tetapi, dalam ilmu-ilmu alam, percobaan itu dapat diulang-ulang. Sementara, sejarah tidak bisa mengulangi percobaan. Contohnya, revolusi Indonesia tidak dapat diulang kembali, sekali terjadi, sesudah itu lenyap ditelan masa lampau. Sejarah hanya meninggalkan sumber/dokumen. Perbedaan lain ialah kalau fakta sejarah adalah fakta manusia, sedangkan dalam ilmu-ilmu alam adalah fakta alam.

Selasa, 05 Mei 2015

PERBANDINGAN SISTEM SOSIAL BUDAYA MASA PENJAJAHAN KOLONIAL BELANDA DAN SETELAH KEMERDEKAAN


 
A.    Pendahuluan
Manusia pada hakikatnya selain sebagai makhluk individu juga merupakan makhluk sosial. Manusia tidak dilahirkan dalam keadaan yang sama, baik dari segi fisik, psikologis, hingga lingkungan geografis, sosiologis dan ekonomis. Dari perbedaan itulah muncul interdependensi yang mendorong manusia untuk berhubungan dengan sesamanya sehingga membuat manusia itu ingin selalu hidup berdampingan dengan orang lain. Hal inilah yang menimbulkan tata cara, perilaku dan pola hidup yang dalam waktu lama akan menjadi kebiasaan bersama (common habbit). Kemudian dari kebiasaan tersebut terciptalah suatu kebudayaan. Setiap kelompok masyarakat memiliki kebudayaan yang mencirikan kehidupan sosial masyarakat tersebut. Kebudayaan tersebut tidak tercipta dengan sendirinya, tetapi terbentuk dari kebiasaan-kebisaan masyarakat yang secara turun-temurun terus berkembang sehingga terciptalah kebudayaan.
Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat dengan tingkat keanekaragaman yang sangat kompleks. Masyarakat dengan berbagai keanekaragaman tersebut dikenal dengan istilah mayarakat multikultural. Bila kita mengenal masyarakat sebagai sekelompok manusia yang telah cukup lama hidup dan bekerja sama sehingga mereka mampu mengorganisasikan dirinya dan berfikir tentang dirinya sebagai satu kesatuan sosial dengan batas-batas tertentu (Linton), maka konsep masyarakat tersebut jika digabungkan dengan multikurtural memiliki makna yang sangat luas dan diperlukan pemahaman yang mendalam untuk dapat mengerti apa sebenarnya masyarakat multikultural itu.
J.S. Furnivall (1967), seorang sarjana bangsa Belanda yang banyak menulis tentang Indonesia, memberikan suatu gambaran tentang masyarakat majemuk ini, dia mengatakan bahwa masyarakat majemuk adalah suatu masyarakat dalam mana sistem nilai yang dianut oleh berbagai kesatuan sosial yang menjadi bagian-bagiannya adalah sedemikian rupa sehingga para anggota masyarakat kurang memiliki loyalitas terhadap masyarakat sebagai keseluruhan, kurang memiliki homogenitas kebudayaan atau bahkan kurang memiliki dasar- dasar untuk saling memahami satu sama lain. Suatu masyarakat adalah bersifat majemuk sejauh masyarakat tersebut secara struktural memiliki sub-sub kebudayaan yang bersifat berbeda satu sama lain.
Dari sinilah muncul istilah multikulturalisme. Banyak definisi mengenai multikulturalisme, diantaranya multikulturalisme pada dasarnya adalah pandangan dunia yang kemudian dapat diterjemahkan dalam berbagai kebijakan kebudayaan yang menekankan tentang penerimaan terhadap realitas keragaman, pluralitas, dan multikultural yang terdapat dalam kehidupan masyarakat. Multikulturalisme dapat juga dipahamni sebagai pandangan dunia yang kemudian diwujudkan dalam “politics of recognition” (Azyumardi Azra, 2007). Lawrence Blum mengungkapkan bahwa multikulturalisme mencakup suatu pemahaman, penghargaan dan penilaian atas budaya seseorang, serta penghormatan dan keingintahuan tentang budaya etnis orang lain. Berbagai pengertian mengenai multikulturalisme tersebut dapat disimpulkan bahwa inti dari multikulturalisme adalah mengenai penerimaan dan penghargaan terhadap suatu kebudayaan, baik kebudayaan sendiri maupun kebudayaan orang lain. Setiap orang ditekankan untuk saling menghargai dan menghormati setiap kebudayaan yang ada di masyarakat. Apapun bentuk suatu kebudayaan harus dapat diterima oleh setiap orang tanpa membeda-bedakan antara satu kebudayaan dengan kebudayaan yang lain.

Senin, 04 Mei 2015

Soal Ujian Landasan Kependidikan



Mata Kuliah                            :  Landasan Kependidikan
Program Studi                        :  S2 IPS
Semester                                 :  Gasal  2014/2015
Jumlah SKS                            :  2 SKS
Dosen Pembina                       :  Prof. Dr. Suyahmo, M.Si
   Prof. Dr. Masrukhi, M.Pd
Hari dan Tanggal                    : Take Home Examination