Rabu, 06 Mei 2015

PERSPEKTIF SEJARAH



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
              Sejarah sangat tergantung pada pengalaman manusia. Pengalaman itu direkam dalam dokumen. Dokumen-dokumen itulah yang diteliti untuk menentukan fakta. Fakta-fakta itulah yang selanjutnya diinterpretasikan kemudian muncul tulisan sejarah. Meskipun ada perbedaan mendasar dengan ilmu alam, sejarah juga memiliki persamaan, yaitu sama-sama berdasarkan pengalaman, pengamatan, dan penyerapan. Akan tetapi, dalam ilmu-ilmu alam, percobaan itu dapat diulang-ulang. Sementara, sejarah tidak bisa mengulangi percobaan. Contohnya, revolusi Indonesia tidak dapat diulang kembali, sekali terjadi, sesudah itu lenyap ditelan masa lampau. Sejarah hanya meninggalkan sumber/dokumen. Perbedaan lain ialah kalau fakta sejarah adalah fakta manusia, sedangkan dalam ilmu-ilmu alam adalah fakta alam.
              Perbedaan-perbedaan itu tentu saja membawa konsekuensi tersendiri bagi sejarah. Sejarah sering disebut tidak ilmiah karena bukan termasuk ilmu-ilmu alam. Perbedaan antara sejarah dan ilmu-ilmu nomotetis tidak terletak pada cara kerja, tetapi pada objek. Ilmu-ilmu alam yang mengamati benda-benda, tentu saja berbeda dengan sejarah yang mengamati manusia. Beda antara ilmu-ilmu alam dan sejarah seperti perbedaan antara benda dan manusia. Benda-benda itu mati, sedangkan manusia itu hidup. Benda mati tidak berpikir, sedangkan manusia itu berpikir dan berkesadaran. Dapat dimengerti kalau ilmu-ilmu alam menghasilkan hukum alam yang berlaku umum dan pasti, sedangkan sejarah menghasilkan generalisasi yang tidak sepasti ilmu-ilmu alam. Selain itu sejarah memiliki fungsi genealogis atau asal usul yang membanggakan, didaktis atau alat pendidikan politik, dan bahan kajian ilmu.
              Sejarawan tidak bisa sembarangan menghadirkan peristiwa sejarah sebagai kisah sejarah. Kisah sejarawan akan memiliki daya tarik tersendiri apabila sejarawan memiliki intuisi, imajinatif, emosi dan gaya bahasa yang baik. Intuisi diperlukan oleh sejarawan saat memilih topik hingga merangkai seluruh fakta menjadi sebuah kisah. Imajinatif sejarawan digunakan untuk menyusun fakta-fakta sejarah yang berhasil ditemukan agar menjadi utuh dan bulat sehingga mudah dipahami. Kontruksi atau gambaran sejarawan tentang sebuah peristiwa jelas tidak bisa sama persis dengan peristiwa yang sebenarnya sehingga sejarawan membutuhkan imajinatif untuk merangkai fakta-fakta sejarah yang sudah tersedia. Oleh karena itu, sejarawan memiliki emosi untuk menyatukan perasaan dengan objeknya agar para pembaca seolah-olah terlibat langsung dengan suatu peristiwa sejarah. Akhirnya, seluruh pengisahan sejarah harus didukung dengan penggunaan gaya bahasa yang lugas dan hidup.
             
B.    Rumusan Masalah
  1. Bagaimana posisi sejarah dalam dunia ilmu?
  2. Apa saja fungsi sejarah?
  3. Bagaimana cara mengetahui kebenaran sejarah


















BAB II
PEMBAHASAN

A.    Posisi Sejarah dalam Dunia Ilmu
Pengetahuan manusia umumnya dapat diklasifikasikan atas tiga kelompok besar, yaitu:
a)     Ilmu-ilmu alamiah (Natural Science)
b)     Ilmu-ilmu sosial (Social Science)
c)     Ilmu-ilmu kemanusiaan (Humanities) atau dikenal juga dengan sebutan humaniora
Pada sudut pertama terdapat ilmu-ilmu alamiah yang mengkaji lingkungan hidup manusia. Di sudut kedua terdapat ilmu-ilmu sosial yang mempelajari manusia dalam hubungannya dengan manusia-manusia lain. Kemudian di sudut ketiga terdapat ilmu-ilmu kemanusiaan yang mempelajari manifestasi-manifestasi kehadiran (eksistensi), kejiwaan (spiritual) manusia.
1.     Ilmu Nomotetis/Eksakta
Wilhelm Windelband (1848-1915), membeda-bedakan ilmu pengetahuan alam dan ilmu sejarah. Menurut Widelband, kedua jenis ilmu pengetahuan itu (sejarah dan alam) tidak berbeda dalam hal objek karena objeknya satu, ialah kenyataan. Adapun perbedaannya terletak pada metode. Metode untuk ilmu pengetahuan alam disebut nomotetis, sedangkan metode ilmu pengetahuan sejarah menggunakan metode ideografis. Nomotetis berhubungan dengan nomos atau norma yang menunjuk pada adanya usaha untuk membuat hal umum atau generalisasi.
Untuk waktu yang lama, terutama sepanjang abad ke-19, dunia ilmiah hanya berpegangan pada satu jenis ilmu yang berdasar pada metode nomotetis. Metode tersebut tertuju pada perumusan hukum (nomos). Dengan kata lain, metode nomotetis mencari sesuatu yang bersifat umum (generalisasi) yang dapat diulangi dalam eksperimen sehingga dapat diramalkan. Ciri terakhir dipandang sebagai tujuan tiap ilmu.
Perbedaan ilmu alam dan sejarah menurut idealis:
a)     Ilmu alam bertujuan untuk menemukan hukum-hukum umum (general laws), oleh sebab itu disebut nomotetik, sedangkan sejarah bertujuan untuk menegakkan dan mendeskripsikan individu, fakta-fakta unik serta peristiwa-peristiwa sehingga disebut ideografik.
b)     Ilmu-ilmu alam adalah obyektif menggunakan metode-metode observasi dan eksperimen, sedangkan kajian metode sejarah adalah subjektif karena pengamatan langsung dan eksperimen sulit dan mustahil. Oleh sebab itu, yang terakhir ini menggunakan metode-metode interpelasi dan pemahaman (mengamati ulang, berpikir ulang).
c)     Ilmu-ilmu alam mempunyai kepedulian pada fenomena-fenomena yang tidak berhubungan dengan mental dan berbasis nilai, karena itu objektif. Sedangkan kajian-kajian yang berhubungan dengan manusia mempunyai kepedulian khusus pada fenomena-fenomena yang berhubungan dengan mental dan nilai-nilai, oleh karena itu subyektif.
Dalam ilmu alam, hukum-hukum berlaku secara tetap, tidak pandang orang, tempat, waktu, dan suasana. Kalau ada hukum bahwa benda akan memuai, maka semua benda akan memuai tanpa peduli siapa, di mana, kapan, dan dalam keadaan apapun. Sejarah sangat tergantung pada pengalaman manusia. Pengalaman itu direkam dalam dokumen. Dokumen-dokumen itulah yang diteliti untuk menentukan fakta. Fakta-fakta itulah yang selanjutnya diinterpretasikan kemudian muncul tulisan sejarah.
Meskipun ada perbedaan mendasar dengan ilmu alam, sejarah juga memiliki persamaan, yaitu sama-sama berdasarkan pengalaman, pengamatan, dan penyerapan. Akan tetapi, dalam ilmu-ilmu alam, percobaan itu dapat diulang-ulang. Sementara, sejarah tidak bisa mengulangi percobaan. Contohnya, revolusi Indonesia tidak dapat diulang kembali, sekali terjadi, sesudah itu lenyap ditelan masa lampau. Sejarah hanya meninggalkan sumber/dokumen. Perbedaan lain ialah kalau fakta sejarah adalah fakta manusia, sedangkan dalam ilmu-ilmu alam adalah fakta alam.
Perbedaan-perbedaan itu tentu saja membawa konsekuensi tersendiri bagi sejarah. Sejarah sering disebut tidak ilmiah karena bukan termasuk ilmu-ilmu alam. Perbedaan antara sejarah dan ilmu-ilmu nomotetis tidak terletak pada cara kerja, tetapi pada objek. Ilmu-ilmu alam yang mengamati benda-benda, tentu saja berbeda dengan sejarah yang mengamati manusia. Beda antara ilmu-ilmu alam dan sejarah seperti perbedaan antara benda dan manusia. Benda-benda itu mati, sedangkan manusia itu hidup. Benda mati tidak berpikir, sedangkan manusia itu berpikir dan berkesadaran. Dapat dimengerti kalau ilmu-ilmu alam menghasilkan hukum alam yang berlaku umum dan pasti, sedangkan sejarah menghasilkan generalisasi yang tidak sepasti ilmu-ilmu alam. Kesimpulannya, sejarah bukan termasuk ilmu nomotetis (ilmu-ilmu alam).

2.     Ilmu Ideografis/Humaniora
Ralph Barton Perry yang mengutip Webster’s New International Dictionary menyebutkan bahwa ilmu-ilmu kemanusiaan itu adalah cabang-cabang dari pengetahuan “santun” (Polite Learning). Pada kutipan kamus Education and Intruction menyebutkan bahwa ilmu-ilmu kemanusiaan itu terdiri dari cabang-cabang kajian tertentu yang mempunyai kecenderungan untuk “memanusiakan” manusia sebagai lawan dari ilmu-ilmu fisika yang berkecenderungan untuk mengembangkan kemampuan-kemampuan intelektual manusia.
Pada dasarnya ilmu-ilmu kemanusiaan mempelajari sejarah dari apa yang telah dibuat, atau dipikirkan, atau diharapkan, atau bahkan kegagalan manusia melalui penelitian objek-objek yang dibentuk oleh pengalaman dan imajinasi manusia. Pokok-pokok kajian humaniora ialah filsafat, interpretasi tentang sastra dan sejarah, kritik tentang seni, musik, dan teater yang semuanya membahas tentang batas-batas, kedalaman-kedalaman, dan kapasitas-kapasitas dari semangat manusia.
Dalam perkembangan kemudian yang termasuk humaniora ialah bahasa (termasuk sastra dan komposisi atau retorik), filsafat, musik, seni-seni visual, dan sejarah. Humaniora menekankan pada:
a.      Keunikan manusia dalam alam
Manusia sendiri melalui intelegensinya mampu mengontrol perkembangan fisik dan mental, menjawab pertanyaan-pertanyaan dasar tentang eksistensi, menemukan pola-pola dasar dari kehidupan, serta menikmati suatu pelepasan kreatif dari emosi-emosi.
b.     Pencarian manusia akan nilai-nilai
Dalam pencarian ini manusia menggunakan daya-daya kreatifnya. Salah satu nilai terpenting yang ditekankan oleh humaniora ialah individualitas. Mengajarkan siswa-siswa akan pentingnya perbedaan-perbedaan manusia disamping persamaan-persamaan. Konsekuensinya proyek-proyek kreatif acapkali membentuk suatu bagian yang penting dalam program-program ilmu kemanusiaan. Setiap siswa menyatakan dirinya (ekspresi) dengan menggubah musik atau mengarang sastra, membuat patung dan melukis, dengan menghasilkan fotografi-fotografi seni, atau dengan membaca karya-karya sejarah atau belajar menulis sejarah, paling sedikit yang terakhir dengan membuat laporan-laporan.
a)     Sejarah Bisa Masuk Humaniora
Acapkali sejarah disebut sebagai “seni dan ilmu”. Sebagai seni, sejarah termasuk humaniora, sedangkan sebagai ilmu, sejarah termasuk salah satu dari ilmu-ilmu sosial. Sejarah sebagai seni memerlukan suatu penjelasan khusus lebih daripada apa yang sudah disebutkan bahwa sejarah merupakan salah satu komponen ilmunya. Objek kajian sejarah adalah manusia, sejarah adalah hasil rekonstruksi sejarawan mengenai pengalaman masa lampau manusia berdasarkan atas sumber-sumber tercatat (tertulis, lisan, karya-karya seni), atau relik-relik. Pengumpulan sumber-sumber, kritikan terhadap sumber-sumber merupakan kegiatan ilmiah. Dalam dua kegiatan berikutnya yaitu penafsiran dan penulisan sejarah itu sendiri yang disebut historiografi, sejarawan harus menggunakan bahasa, retorika. Deskripsi tentang peristiwa-peristiwa dan pelaku sejarah semua menggunakan menggunakan media bahasa sehingga menghasilkan suatu narasi sejarah yang menarik dan bermakna. Penggunaan retorika membuat sejarah erat sekali hubungan dengan sastra sehingga sejarah dianggap sebagai suatu seni dan karena itu, termasuk dalam humaniora.
Dalam pandangan Sejarah sebagai seni, sejarawan tidak bisa sembarangan menghadirkan peristiwa sejarah sebagai kisah sejarah. Kisah sejarawan akan memiliki daya tarik tersendiri apabila sejarawan memiliki intuisi, imajinatif, emosi dan gaya bahasa yang baik. Intuisi diperlukan oleh sejarawan saat memilih topik hingga merangkai seluruh fakta menjadi sebuah kisah. Imajinatif sejarawan digunakan untuk menyusun fakta-fakta sejarah yang berhasil ditemukan agar menjadi utuh dan bulat sehingga mudah dipahami. Kontruksi atau gambaran sejarawan tentang sebuah peristiwa jelas tidak bisa sama persis dengan peristiwa yang sebenarnya sehingga sejarawan membutuhkan imajinatif untuk merangkai fakta-fakta sejarah yang sudah tersedia. Oleh karena itu, sejarawan memiliki emosi untuk menyatukan perasaan dengan objeknya agar para pembaca seolah-olah terlibat langsung dengan suatu peristiwa sejarah. Akhirnya, seluruh pengisahan sejarah harus didukung dengan penggunaan gaya bahasa yang lugas dan hidup.
3.     Ilmu Sosial/Tingkah Laku
Sebenarnya sejarah mempunyai kedudukan unik di dalam rumpun ilmu-ilmu sosial. Meskipun sejarah termasuk sebagai salah satu dari ilmu-ilmu sosial, namun antara sejarah dan ilmu-ilmu sosial lainnya masih dapat dibedakan sebagai berikut.
Tabel 1. Perbedaan antara sejarah dan ilmu-ilmu sosial
No
Sejarah
Ilmu-Ilmu Sosial
1
Masa lampau (past)
Masa Kini (present)
2
Temporal spasial
Atemporal-aspasial
3
Diakronik
Sinkronik
4
Ideografik
Nomotetik
5
Partikularistik
Generalistik
6
Terjadi sekali
Terjadi berulang-ulang
7
Tidak teratur
Beraturan
8
Tidak dapat dieksperimen dan diuji ulang
Dapat dilakukan eksperimen dan diuji ulang
9
Tidak untuk meramal
Dapat untuk meramal/prediksi

Kajian sejarah terikat pada waktu (temporal), terutama pada kelampauan. Faktor waktu ini yang amat membedakan sejarah dengan ilmu-ilmu sosial lain sehingga sering dikatakan bahwa sejarah adalah kajian yang berkaitan dengan manusia (individu dan masyarakat) pada masa lampau, sedangkan ilmu-ilmu sosial adalah kajian tentang manusia pada masa sekarang. Tidak jarang kajian dari ilmu-ilmu sosial digunakan untuk kepentingan masa yang akan datang, atau untuk meramalkan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi pada masa-masa yang akan datang. Tetapi perlu ditegaskan bahwa dalam kajian masa lalu dari sejarah terkandung didalamnya pengertian proses dan perspektif sejarah, artinya bukan masa lalu untuk kepentingan masa lalu melainkan masa lalu sebagai titik tolak untuk masa sekarang dan selanjutnya. Karena pengertian yang implisit ini seringkali sejarah dianggap dapat juga digunakan untuk memprediksi masa yang akan datang meskipun para praktisi sejarah sendiri tidak begitu peduli atau paling tidak hanya menunjukan kecenderungan (trends).
Selain faktor waktu, kajian sejarah terikat pada tempat (spasial) tertentu. Suatu peristiwa atau kejadian-kejadian yang berhubungan dengan manusia pasti terjadi disuatu tempat tertentu. Jika ditanyakan kapan dan dimana terjadi peristiwa Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, misalnya, jawabannya pasti tanggal 17 Agustus 1945, hari jumat pukul 10.00 bertepatan dengan bulan puasa dan di Jakarta. Jadi tempat proklamasi itu Jakarta, bukan kota-kota lain. Sedangkan bagi ilmu-ilmu sosial kelampauan dan tempat khusus tidak terlalu dihiraukan, peristiwa proklamasi itu dapat terjadi dimana saja dan kapan saja.
Selajutnya antara sejarah dan ilmu-ilmu sosial lain berbeda dalam pendekatan atau perspektif. Jika sejarah menggunakan perspektif diakronik (menekankan proses), maka ilmu-ilmu sosial menggunakan perspektif sinkronik (menekankan struktur). Artinya, sejarah itu memanjang dalam waktu, sedangkan ilmu sosial meluas dalam ruang. Kajian sejarah meskipun tidak identik dengan kronik, tetapi kaitan kronologis dari kejadian-kejadian sangat penting sehingga seperti garis vertikal (diakronik). Sebaliknya ilmu-ilmu sosial mencoba melihat fenomena peristiwa yang hampir sama pada tempat yang berbeda atau pada waktu yang berbeda-beda sehingga kelihatannya sebagai garis mendatar atau horizontal. Dengan analisis, pendekatan sinkronik dapat mengungkapkan hubungan dan saling ketergantungan fungsi unsur-unsur sehingga fenomena sebagai suatu kesatuan dapat ditandai dengan tepat.
Sejarah akan lebih menekankan pada kekhasan atau kekhususan dari setiap peristiwa, kita ambil contoh Perkembangan Sarekat Islam di Solo, 1911-1920; Terjadinya Perang Diponegaro, 1925-1930; Revolusi Fisik di Indonesia, 1945-1949; Gerakan Zionisme 1897-1948 dan sebagainya. Contoh lainnya seperti revolusi atau Perang Kemerdekaan Amerika Tahun 1776, Perancis tahun 1789, Rusia tahun 1917, dan Indonesia 1945. Revolusi Amerika dikaji lebih mendalam mengenai sebab-musabab serta perkembangan revolusi sehingga tampak kekhasan jika seandainya dibandingkan dengan revolusi negara-negara lain dimana di Amerika ada konflik kepentingan antara para kolonis yang ingin melepaskan diri dan merdeka dengan negeri induk Inggris yang tetap ingin mempertahankan koloninya, di Perancis terjadi konflik kepentingan antara rezim lama yang absolut dan golongan kelas menengah (borjuis) yang ingin berkuasa secara politis, di Rusia terjadi konflik perebutan kekuasaan antara Prokomunis dan anti komunis, dan di Indonesia ada konflik antara kolonialis Belanda yang ingin kembali menjajah dengan bangsa Indonesia yang baru merdeka dan ingin tetap mempertahankan kemerdekaannya.
Oleh karena itu, sejarah disebut juga kajian ideografik atau partikularistik, kekhasan. Sejarah melukiskan dan menafsirkan suatu peristiwa yang hanya satu kali saja. Sebaliknya, kajian ilmu-ilmu sosial akan menekankan kepada fenomena yang sama di semua negara sehingga dapat ditarik suatu hukum yang dapat berlaku umum. Sebab itulah, kajian ilmu-ilmu sosial disebut juga kajian nomotetik atau generalistik, keumuman. Ilmu-ilmu sosial mencoba mencari hukum-hukum yang berlaku umum sehingga kalau misalnya ada gejala-gejala konflik politik atau sosial yang terjadi dalam suatu negara atau masyarakat, maka dapat diramalkan suatu revolusi atau perang akan dapat terjadi.
Pembagian dua hal diatas antara sejarah dan ilmu-ilmu sosial mempunyai kelemahan yang mendasar  yaitu mengkotak-kotakkan ilmu-ilmu seolah satu sama lain tidak mempunyai hubungan. Kenyataan tidak demikian sebab kedua belah pihak saling memerlukan. Sejarah bukan tidak mengenal generalisasi karena dalam membuat deskripsi, narasi atau analisis mengenai revolusi yang terjadi di Amerika, sejarah juga membuat kesimpulan akhir meskipun kesimpulan itu akan menunjukan kekhasan dari masing-masing revolusi, namun materi-materi sejarah itulah yang digunakan oleh para ilmuwan sosial untuk mengambil kesimpulan umum dan merumuskan generalisasi atau teori atau hukum umum yang dapat digunakan untuk meramalkan peristiwa-peristiwa politik atau sosial pada masa yang akan datang. Meskipun sejarah tidak menemukan hukum-hukum umum, namun sejarah menerapkan hukum-hukum umum tersebut untuk menjelaskan kekhususan-kekhususannya.
a)     Sejarah Bisa Masuk Ilmu Sosial Bila Memanfaatkan Aspek Why
Sejarah adalah sekaligus seni dan ilmu. Sebagai seni, sejarah dimasukan dalam sastra karena penggunaan narasi yang  dominan. Herodotus (484-425 SM) sebagai bapak sejarah malah telah memulai sejarah itu sebagai cerita dan sejak itu sejarah dimasukan ke dalam ilmu-ilmu kemanusiaan (humaniora).
Sejarah dapat digolongkan sebagai ilmu apabila ia memiliki syarat-syarat dari suatu ilmu pengetahuan atau syarat-syarat ilmiah. Syarat-syarat keilmuan yang dimaksud adalah:
·       Ada objek masalahnya 
·       Memiliki metode
·       Tersusun secara sistematis
·       Menggunakan pemikiran yang rasional
·       Memiliki kebenaran yang objektif
Sebagai science, sejarah adalah ilmu karena mempunyai metodologi penelitian ilmiah yang bisa dipertanggungjawabkan. Langkah-langkah heuristik, kritik-kritik sumber dan penulisan sejarah serta interpretasi adalah metode-metode objektif ilmiah yang umum sekali dalam penelitian sejarah. Interpretasi misalnya, dimana di dalamnya terdapat unsur menyeleksi fakta sehingga sesuai dengan keseluruhan yang hendak disusun. Disini pertanyaan mengapa (why) sangat membantu dalam melakukan historiografi dan interpretasi karena menuntun kepada alur yang masuk akal dan pemilihan bukti yang sesuai dengan fakta sejarah.
Menurut Abu Su’ud dalam Buku Tiga Keranjang (Tripitaka) Sejarah), ada ungkapan terkenal dari Taine yang berbunyi : “Apresia collection des fails, la recherche des causes”, yang berarti ‘Setelah pengumpulan fakta, tinggal mencari penyebabnya’. bahwa sejarah adalah suatu rangkaian sebab akibat, meskipun pada dasamya orang sulit sekali menemukan faktor yang dianggap sebagai penyebab yang paling utama. Ungkapan semacam itu bisa disebut sebagai prosedur sejarah. Dengan kata lain, sejarah adalah terdiri dari fakta. Dan rangkaian fakta tsb. dapatlah diketahui rangkaian sebab akibat yang dapat memberikan kejelasan bagi rangkaian fakta tsb.
Kemudian sebagai ilmu, sejarah termasuk sebagai salah satu ilmu-ilmu sosial karena fokus kajiannya adalah manusia (sebagai individu maupun dalam kelompok masyarakat seperti yang dikaji oleh sosiologi, psikologi, antropologi, politilogi, geografi, ekonomi dan sebagainya). Bahkan sejarah termasuk ilmu sosial tertua yang embrionya telah ada dalam bentuk-bentuk mitos dan tradisi-tradisi dari manusia-manusia yang hidup paling sederhana. Tentu saja cara pendekatannya dalam mengkaji manusia itu tidak sama meskipun harus diakui bahwa dalam perkembangan ilmu sejarah pada abad ke 20-21 ini antara sejarah dan ilmu-ilmu sosial sudah lebih saling mendekati, malah proses hubungan berdampingan antara sejarah dengan ilmu-ilmu sosial. Dalam  kerja samanya, ilmu-ilmu sosial menggunakan pendekatan historis untuk dapat menggungkapkan kecenderungan-kecenderungan serta pola-pola umum sebelum dapat melakukan ramalam-ramalan (prediksi) masa yang akan datang.

B.    Fungsi Sejarah
1.     Fungsi Genealogis, Sebagai Catatan yang Membanggakan
Dalam hal ini sejarah berisi rangkaian fakta yang dianggap menarik untuk dikisahkan dari generasi ke generasi. Sejarah hanya berisi hal-hal tentang what, who, when, where serta how. Sejarah dengan demikian lebih merupakan hasil sastra atau buah karya seni manusia, yang amat patut dikisahkan atau didongengkan (history as art). Oleh karena fungsinya sebagai genealogis maka sejarah bersifat informatif dan disajikan secara deskriptif.

2.     Fungsi Didaktis, Sebagai Alat Pendidikan Politik
Fungsi didaktis berkaitan dengan fungsi sejarah sebagai alat pendidikan. Banyak manusia yang belajar dari sejarah. Belajar dari pengalaman yang pernah dilakukan. Pengalaman tidak hanya terbatas pada pengalaman yang dialaminya sendiri, melainkan juga dari generasi sebelumnya. Dengan belajar sejarah seseorang akan senantiasa berdialog anatara masa kini dan masa lampau sehingga bisa memperoleh nilai-nilai penting yang berguna bagi kehidupannya. Nilai-nilai itu dapat berupa ide-ide maupun konsep kreatif sebagai sumber motivasi bagi pemecahan masalah kini dan selanjutnya untuk merealisasikan harapan masa yang akan datang.
Penyajian bahan sejarah dipilih fakta mengenai pengalaman masa lalu yang membanggakan, menyedihkan, dan sebagainya yang dikomunikasikan kepada generasi baru untuk tujuan mengobarkan semangat. Berbagai nilai luhur (ideal) bangsa ingin ditanamkan lewat sejarah, agar terjadi proses sosialisasi dalam generasi baru guna menunbuhkan semangat kepahlawanan, patriotisme, nasionalisme, dan sebagainya. Sejarah mengandung pendidikan politik karena peristiwa tertentu menyangkut tindakan politik atau kegiatan bersifat politik.

3.     Fungsi Kajian Ilmu, Sebagai Bahan Kajian Keilmuan
Aliran Sejarah Baru (New Historism) amat menekankan pada perlunya penyajian fakta sejarah secara lebih objektif, apa adanya, dan lugas. Sejarah oleh karenanya harus tidak usah dikaitkan dengan usaha mendidik (didaktik) untuk membangkitkan semangat kepahlawanan dan sebagainya pada generasi baru. Untuk itu, sejarah harus disusun atas dasar fakta yang sesungguhnya terjadi, sehingga diperlukan proses studi sejarah kritis. Proses yang dilakukan dengan demikian adalah mengumpulkan data, nenyeleksi, menganalisis, menafsirkan dan menyajikannya dalam buku sejarah (history as writen). Proses yang demikian ini memang menunjang untuk terjadinya sejarah sebagai ilmu (history as science), yang bersifat obyektif. Namun tidaklah mudah untuik menyajikan sesnatu tulisan sejarah yang bebas dari subyektivitas penulis, karena berbagai alasan seperti kepribadian, ras, agama kelompok etnis, kelompok kepentingan kebudayaan dan sebagainya.

C.    Kebenaran Sejarah
1.     History as a Fact (Sejarah Sebagai Fakta)
a)     Obyektivitas Sejarah
Peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa lampau merupakan materi yang sangat penting bagi ilmu sejarah. Melalui peristiwa-peristiwa tersebut, ilmu sejarah mendapat suatu gambaran tentang kehidupan manusia pada masa lampau, atau dapat mengetahui sebab-akibat terjadinya suatu peristiwa. Namun, tidak semua peristiwa sejarah mempunyai bukti yang tertulis, ada pula yang berasal dari bukti lisan maupun benda-benda peninggalannya. Istilah History as Facts dapat disederhanakan sebagai kenyataan yang sedang berlangsung. Pengabadian sejarah serba objek terdapat dalam sumber sejarah meskipun serba tidak sempurna. Seolah-olah sumber-sumber itu merupakan gudang bahan sejarah. Sejarah sebagai kenyataan (serba-objek) hanya dapat diketahui dengan mempergunakan bahan yang tersimpan di dalam gudang itu. Tanpa pengabadian, tanpa sumber-sumber sejarah tidak mungkinlah sejarah serba-objek atau sejarah yang sebenarnya dapat diungkap artinya (Ali, 2005: 21).
Berbicara tentang sejarah sebagai fakta dan sejarah yang tertulis berarti kita membicarakan tentang Sumber Sejarah. Dasar dari penggunaan sumber sejarah adalah cita-cita mencari kebenaran tentang kejadian peristiwa yang sudah terjadi. Penggunaan itu harus menghasilkan ketentuan-ketentuan tentang kejadian-peristiwa atau ketentuan tentang Facts atau fakta. Sudah barang tentu fakta yang didapatkan dari sumber-sumber sejarah adalah benar apabila sumber-sumber itu sendiri benar. Benar dalam arti dapat dipercaya, tidak palsu, atau shahih, yaitu tidak ada cacatnya, sehat atau kurang suatu apa pun (Ali, 2005: 22). Sebagai contoh, di Muara Kaman (Kalimantan Timur diketemukan beberapa buah prasasti (batu tulis). Penyelidikan pertama diarahkan kepada yang shahih yaitu memeriksa bentuk huruf serta isi cerita yang dituliskan pada batu itu. Bentuk huruf pada prasasti itu menunjukkan abad ke-5 Masehi sebagai masa dibuatnya prasasti itu. Isi prasasti itu melukiskan adat kebiasaan yang lazim pada abad itu. Maka, berdasarkan persamaan itu prasasti tersebut dapat dipercaya.
Penyelidikan tentang sumber-sumber sejarah adalah suatu keharusan ilmiah sebelum isi sumber-sumber itu diselidiki dan akhirnya dipergunakan. Setelah kebenaran suatu sumber terbukti, timbullah masalah cara mempergunakan sumber itu. Apakah yang dapat kita ketahui dan apakah sumber tersebut dapat dipergunakan? Fakta apakah yang dapat kita himpun dari sumber itu?. Pencarian sumber sejarah ditentukan oleh minat dan perhatian orang pada suatu zaman. Oleh sebab itu, sumber-sumber itu hanya terbatas pada beberapa pokok tertentu. Isi itulah yang harus diambil inti sarinya sebagai fakta. Apabila sumber sejarah merupakan pengabadian sebagian kecil dari keseluruhan kejadian dan peristiwa yang betul-betul pernah terjadi maka apakah Fakta sejarah itu?. Fakta sejarah adalah intisari dari sumber-sumber sejarah, fakta-fakta itu disimpulkan dari sumber-sumber sejarah. Fakta sejarah adalah peristiwa-peristiwa yang benar-benar terjadi. Tinggal bagaimana seorang sejarawan memaknainya (Ali, 2005: 25).

2.     History as Written (Sejarah Sebagaimana yang Tertulis)
History as Writen adalah sejarah yang ditulis. Suatu fakta sejarah tidak akan bermakna, jika peristiwa yang terjadi hanya ditulis apa adanya. Menurut Moh. Ali, fakta-fakta sejarah yang belum diberi rangka daging dan jiwa sejarah belum bisa dikatakan sebagai sejarah. Fakta-fakta sejarah tersebut belum merupakan sejarah dalam arti yang sebenarnya, sebab fakta-fakta itu sebenarnya hanya bahan mentah yang harus dimasak terlebih dahulu. Jika suatu peristiwa sejarah hanya ditulis sebagaimana adanya maka peristiwa tersebut belum memiliki arti (Ali, 2005: 27).


a)     Subyektivitas Penulis
Wujud sejarah serba-objek adalah cerita, yaitu cerita yang menghubungkan  fakta-fakta itu sedemikian rupa sehingga terdapatlah suatu keseluruhan atau kesatuan. Kesatuan fakta-fakta itu dihimpun menurut pendapat penyusun. Adapun pendapat penyusun itu sendiri sebenarnya merupakan pendiriannya sebagai seseorang yang mempelajari sejarah. Dalam penulisan sejarah, kemampuan seorang sejarawan (penulis sejarah) sangat diutamakan. Karena dari coretan tangan dan buah pikirannya yang mendalam akan tersajikan cerita sejarah yang bermakna, menarik dan menimbulkan keinginan orang untuk membaca hasil karya sejarah tersebut hingga usai. Suatu peristiwa atau fakta sejarah yang sama, mungkin akan lain ceritanya karena yang menulis berbeda.
Subyektivitas penulis menentukan tulisan sejarah tersebut. Seolah-olah penyusun cerita itu berdiri pada suatu tempat tertentu dan dari tempat itu ia melihat dan meninjau kejadian-peristiwa yang terdapat di dalam fakta-fakta itu. Tempat di mana ia berdiri itu menentukan sifat-sifat apa yang terlihat olehnya. Hal-hal pokok yang dapat menjadikan subyektivitas penulis dalam menyusun cerita sejarah adalah sebagai berikut:
a.      Daerah, yaitu negeri (kebangsaan), wilayah (provinsi dan sebagainya), alam (pegunungan, tanah datar, pedalaman atau kawasan pantai).
b.      Golongan, yaitu termasuk bangsa apakah penjajah, terjajah, negara-negara besar atau negara kecil, suku, partai atau agama.
c.      Zaman, yaitu dalam abad keberapakah penulis itu hidup.
d.     Kepribadian, yaitu asal-usul, pendidikan dan lingkungannya.
Gabungan dari pokok-pokok 1, 2, 3, dan 4 itu menentukan pendirian seseorang dalam arti seluas-luasnya. Maka jelaslah bahwa daerah asal, golongan, zaman dan kepribadian penyusun menentukan bentuk dan isi cerita. Betapa pun besar usaha orang untuk menulis dengan sejujur-jujurnya, ia tidak mungkin membuat lukisan sejarah yang seratus persen jujur (Ali, 2005: 61).

b)     Obyektivitas Subyektif
Dapatkah seorang penulis cerita sejarah menyusun cerita yang obyektif, yaitu suatu cerita yang menceritakan segala hal-ihwalnya dengan setepat-tepatnya laksana film yang sempurna. Obyektif laksana cermin yang dapat memberikan gambaran yang sama sekali tidak berbeda. Sejarah yang obyektif dalam arti ini adalah melukiskan fakta-fakta sejarah sedemikian rupa sehingga tercapailah kenyataan demikianlah sesungguhnya yang terjadi. Apa yang tertulis dalam cerita sejarah sebenarnya merupakan sebagian dari penggalan cerita yang sebenarnya terjadi pada masa lalu.
Manusia sebagai penyusun sejarah tidak mungkin memasukkan semua fakta sejarah ke dalam tulisannya. Seorang sejarawan pasti telah memilah atau menyeleksi berdasarkan minat perhatiannya sehingga menjadikan sejarah yang seharusnya serba-objek justru tidak tampak. Maka kita bisa mengatakan bahwa tidak ada sejarah yang obyektif, karena memang sudah semestinya sejarah itu subyektif yaitu menurut pandangan penyusunnya. Subyektif dalam arti tertentu yaitu lukisan sejarah yang memiliki jiwa yang mempunyai kepribadian yang kuat. Seringkali subyektif dipersamakan dengan fantasi, khayalan, isapan jempol, pemalsuan. Cerita-cerita sejarah yang dipandang obyektif sebenarnya bukan cerita yang mengandung gerak jiwa yang bergelora dan menarik, bahkan sekedar suatu daftar waktu, suatu tabel atau rangkaian tahun dan fakta (Ali, 2005: 63).
Subyektif dalam arti yang sebenarnya berdasarkan kejujuran yaitu hajat dan tekat tidak akan berlaku curang, tidak menipu, menyatakan sesuatu sebagai konsekuensi keyakinanya. Dengan demikian, dalam penulisan sejarah diperlukan sikap serba tidak berat sebelah meskipun obyek yang dipilih adalah sudah menunjukan subyektivitas dari penulis itu sendiri. Sikap jujur itu hanya mungkin apabila teropong pendirian itu dilengkapi dengan lensa kejujuran dan disertai alat lain yakni “mikroskop penelitian” untuk menelaah, meneliti, menggali dengan sesempurna, seteliti, sehalus dan setajam mungkin dengan maksud mendapatkan fakta yang sebenarnya dan sebanyak-banyaknya.
c)     Manipulatif
Sejarah yang manipulatif itu apakah sejarah yang apa adanya ataukah sejarah yang serba menghilangkan fakta yang artinya fakta sebenarnya ditutupi diganti dengan fakta lain ataukah fakta sejarahnya sama akan tetapi pemaknaannya berbeda karena tujuan tertentu. Jawaban yang mungkin paling mendekati kebenaran adalah fakta sejarah atau peristiwa yang ditulis adalah nyata, riil karena sudah berlalu. Tetapi tujuan dan penulisannya yang berbeda. Sebagai contoh, peristiwa G30S/PKI yang terjadi pada tanggal 30 September 1965. Jelas telah terjadi manipulasi atau pembalikan fakta tentang kejadian itu. Masih banyak multitafsir tentang peristiwa berdarah yang menewaskan tujuh jenderal tersebut. Siapa tokoh atau dalang dibalik peristiwa tersebut? Siapa yang diuntungkan dari peristiwa tersebut? Siapa yang dikorbankan dalam peristiwa tersebut?. Pada akhirnya kita akan tahu seiring berjalannya waktu bahwa peristiwa tersebut menjadikan Jenderal Soeharto kemudian menjadi penguasa besar di negeri ini.
Manipulasi sejarah biasanya digunakan oleh seorang penguasa suatu negeri untuk melanggengkan kekuasaannya. Membalikkan semua fakta yang terjadi sebenarnya untuk kepentingannya sendiri atau mungkin atas nama negara dan demi kepentingan kelangsungan kehidupan negara itu sendiri. Contoh lain adalah peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta. Siapa sebenarnya tokoh intelektual dibalik serangan umum tersebut? Apakah Letkol Soeharto atau menteri Pertahanan dan Keamanan saat itu yang juga raja Yogyakarta yaitu Sultan Hamengkubuwono IX?. Sejarah dapat dimanipulasi itulah kenyataannya. Siapa yang melakukannya? Tentu penguasa melalui tangan-tangan penyusun sejarah (sejarawan) yang mungkin sudah dipesan, di intimidasi untuk membuat cerita manipulatif. Meskipun seorang sejarawan memiliki independensi, akan tetapi jika ia dihadapkan kepada suatu kenyataan atau kekuasaan yang begitu besar maka kemungkinan manipulasi dapat terjadi.
























BAB III
PENUTUP

A.    Simpulan
Sejarah memiliki perbedaan mendasar dengan ilmu alam yang dimana dapat melakukan percobaan berulang-ulang. Sejarah sangat tergantung pada pengalaman manusia dan tidak dapat mengulangi percobaan. Generalisasi sejarah juga tidak sepasti ilmu alam. Sejarah adalah kajian yang berkaitan dengan manusia (individu dan masyarakat) pada masa lampau, sehingga kajian sejarah terikat dengan waktu (temporal). Dalam kajian masa lalu dari sejarah terkandung didalamnya pengertian proses dan perspektif sejarah, artinya bukan masa lalu untuk kepentingan masa lalu melainkan masa lalu sebagai titik tolak untuk masa sekarang dan selanjutnya.
Oleh karenanya, sejarah memiliki fungsi diantaranya sebagai catatan yang membanggakan atas peristiwa atau kejadian masa lampau yang dapat diabadikan melalui catatan berupa tulisan indah, sebagai alat pendidikan politik kepada generasi berikutnya dimana pembelajaran dan pengalamannya diambil dari peristiwa politik yang pernah terjadi sehingga generasi berikutnya memperoleh bekal pengetahuan dalam menyikapi setiap kegiatan politik. Fungsi berikutnya sejarah sebagai bahan kajian keilmuan, dalam hal ini sejarah harus disusun atas dasar fakta yang sesungguhnya terjadi, sehingga diperlukan proses studi sejarah kritis.
Penyajian fakta sejarah secara lebih objektif, apa adanya, dan lugas sehingga diharapkan dapat mengungkapkan kebenarannya. Akan tetapi, penulisan suatu kisah sejarah bisa mengarah pada history as a fact atau history as written. History as a fact berarti penulisan sejarah didasarkan pada fakta-fakta yang ada. Sebaliknya, history as written dipahami bahwa suatu fakta sejarah tidak akan bermakna, jika peristiwa yang terjadi hanya ditulis apa adanya. Oleh karena itu, kebenaran sejarah sangat tergantung dari penulis, apakah menggunakan subyektivitasnya ataukah menuliskan dengan sejujurnya berdasarkan fakta yang terjadi atau serba menghilangkan fakta yang artinya fakta sebenarnya ditutupi diganti dengan fakta lain, ataukah fakta sejarahnya sama akan tetapi pemaknaannya berbeda karena tujuan tertentu.

B.    Saran
Sebagai warga negara yang baik dan bagian dari negara, kita tidak boleh melupakan sejarah. Kita harus senantiasa selalu belajar sejarah karena dari peristiwa sejarah kita bisa memperoleh pengalaman dan bekal ilmu sebagai pedoman membangun bangsa di masa depan. Akan tetapi, kita harus memaknai sejarah secara objektif dan bijak agar tidak salah langkah dalam menentukan keputusan demi kemajuan bangsa.



















DAFTAR PUSTAKA

Ali, R. Moh. 2005. Pengantar Ilmu Sejarah Indonesia. Yogyakarta: LKiS.
Su’ud, Abu. 2005. Tiga Keranjang. Semarang.






















Tidak ada komentar:

Posting Komentar