BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sejarah sangat tergantung pada pengalaman manusia.
Pengalaman itu direkam dalam dokumen. Dokumen-dokumen itulah yang diteliti
untuk menentukan fakta. Fakta-fakta itulah yang selanjutnya diinterpretasikan
kemudian muncul tulisan sejarah. Meskipun ada perbedaan mendasar dengan ilmu
alam, sejarah juga memiliki persamaan, yaitu sama-sama berdasarkan pengalaman,
pengamatan, dan penyerapan. Akan tetapi, dalam ilmu-ilmu alam, percobaan itu
dapat diulang-ulang. Sementara, sejarah tidak bisa mengulangi percobaan.
Contohnya, revolusi Indonesia tidak dapat diulang kembali, sekali terjadi,
sesudah itu lenyap ditelan masa lampau. Sejarah hanya meninggalkan
sumber/dokumen. Perbedaan lain ialah kalau fakta sejarah adalah fakta manusia, sedangkan
dalam ilmu-ilmu alam adalah fakta alam.
Sejarawan tidak bisa sembarangan menghadirkan peristiwa
sejarah sebagai kisah sejarah. Kisah sejarawan akan memiliki daya tarik
tersendiri apabila sejarawan memiliki intuisi, imajinatif, emosi dan gaya
bahasa yang baik. Intuisi diperlukan oleh sejarawan saat memilih topik hingga
merangkai seluruh fakta menjadi sebuah kisah. Imajinatif sejarawan digunakan
untuk menyusun fakta-fakta sejarah yang berhasil ditemukan agar menjadi utuh
dan bulat sehingga mudah dipahami. Kontruksi atau gambaran sejarawan tentang
sebuah peristiwa jelas tidak bisa sama persis dengan peristiwa yang sebenarnya
sehingga sejarawan membutuhkan imajinatif untuk merangkai fakta-fakta sejarah
yang sudah tersedia. Oleh karena itu, sejarawan memiliki emosi untuk menyatukan
perasaan dengan objeknya agar para pembaca seolah-olah terlibat langsung dengan
suatu peristiwa sejarah. Akhirnya, seluruh pengisahan sejarah harus didukung
dengan penggunaan gaya bahasa yang lugas dan hidup.
B.
Rumusan Masalah
- Bagaimana posisi sejarah dalam dunia ilmu?
- Apa saja fungsi sejarah?
- Bagaimana cara mengetahui kebenaran sejarah
BAB II
PEMBAHASAN
A. Posisi Sejarah
dalam Dunia Ilmu
Pengetahuan manusia umumnya dapat diklasifikasikan atas tiga kelompok
besar, yaitu:
a) Ilmu-ilmu alamiah (Natural Science)
b) Ilmu-ilmu sosial (Social Science)
c) Ilmu-ilmu kemanusiaan (Humanities) atau dikenal juga dengan
sebutan humaniora
Pada sudut pertama
terdapat ilmu-ilmu alamiah yang mengkaji lingkungan hidup manusia. Di sudut
kedua terdapat ilmu-ilmu sosial yang mempelajari manusia dalam hubungannya
dengan manusia-manusia lain. Kemudian di sudut ketiga terdapat ilmu-ilmu kemanusiaan
yang mempelajari manifestasi-manifestasi kehadiran (eksistensi), kejiwaan
(spiritual) manusia.
1. Ilmu Nomotetis/Eksakta
Wilhelm Windelband (1848-1915), membeda-bedakan ilmu pengetahuan
alam dan ilmu sejarah. Menurut Widelband, kedua jenis ilmu pengetahuan itu (sejarah
dan alam) tidak berbeda dalam hal objek karena objeknya satu, ialah kenyataan.
Adapun perbedaannya terletak pada metode. Metode untuk ilmu pengetahuan alam
disebut nomotetis, sedangkan metode ilmu pengetahuan sejarah menggunakan metode
ideografis. Nomotetis berhubungan dengan nomos
atau norma yang menunjuk pada adanya usaha untuk membuat hal umum atau
generalisasi.
Untuk waktu yang lama, terutama sepanjang abad ke-19, dunia ilmiah
hanya berpegangan pada satu jenis ilmu yang berdasar pada metode nomotetis.
Metode tersebut tertuju pada perumusan hukum (nomos). Dengan kata lain, metode nomotetis mencari sesuatu yang
bersifat umum (generalisasi) yang dapat diulangi dalam eksperimen sehingga
dapat diramalkan. Ciri terakhir dipandang sebagai tujuan tiap ilmu.
Perbedaan ilmu alam dan sejarah menurut idealis:
a) Ilmu alam bertujuan
untuk menemukan hukum-hukum umum (general
laws), oleh sebab itu disebut nomotetik, sedangkan sejarah bertujuan untuk
menegakkan dan mendeskripsikan individu, fakta-fakta unik serta peristiwa-peristiwa
sehingga disebut ideografik.
b) Ilmu-ilmu alam adalah
obyektif menggunakan metode-metode observasi dan eksperimen, sedangkan kajian
metode sejarah adalah subjektif karena pengamatan langsung dan eksperimen sulit
dan mustahil. Oleh sebab itu, yang terakhir ini menggunakan metode-metode
interpelasi dan pemahaman (mengamati ulang, berpikir ulang).
c) Ilmu-ilmu alam mempunyai
kepedulian pada fenomena-fenomena yang tidak berhubungan dengan mental dan
berbasis nilai, karena itu objektif. Sedangkan kajian-kajian yang berhubungan
dengan manusia mempunyai kepedulian khusus pada fenomena-fenomena yang
berhubungan dengan mental dan nilai-nilai, oleh karena itu subyektif.
Dalam ilmu alam, hukum-hukum berlaku secara tetap, tidak pandang
orang, tempat, waktu, dan suasana. Kalau ada hukum bahwa benda akan memuai,
maka semua benda akan memuai tanpa peduli siapa, di mana, kapan, dan dalam
keadaan apapun. Sejarah sangat tergantung pada pengalaman manusia. Pengalaman
itu direkam dalam dokumen. Dokumen-dokumen itulah yang diteliti untuk
menentukan fakta. Fakta-fakta itulah yang selanjutnya diinterpretasikan kemudian
muncul tulisan sejarah.
Meskipun ada perbedaan mendasar dengan ilmu alam, sejarah juga
memiliki persamaan, yaitu sama-sama berdasarkan pengalaman, pengamatan, dan
penyerapan. Akan tetapi, dalam ilmu-ilmu alam, percobaan itu dapat
diulang-ulang. Sementara, sejarah tidak bisa mengulangi percobaan. Contohnya,
revolusi Indonesia tidak dapat diulang kembali, sekali terjadi, sesudah itu
lenyap ditelan masa lampau. Sejarah hanya meninggalkan sumber/dokumen. Perbedaan
lain ialah kalau fakta sejarah adalah fakta manusia, sedangkan dalam ilmu-ilmu
alam adalah fakta alam.
Perbedaan-perbedaan itu tentu saja membawa konsekuensi tersendiri
bagi sejarah. Sejarah sering disebut tidak ilmiah karena bukan termasuk
ilmu-ilmu alam. Perbedaan antara sejarah dan ilmu-ilmu nomotetis tidak terletak
pada cara kerja, tetapi pada objek. Ilmu-ilmu alam yang mengamati benda-benda,
tentu saja berbeda dengan sejarah yang mengamati manusia. Beda antara ilmu-ilmu
alam dan sejarah seperti perbedaan antara benda dan manusia. Benda-benda itu
mati, sedangkan manusia itu hidup. Benda mati tidak berpikir, sedangkan manusia
itu berpikir dan berkesadaran. Dapat dimengerti kalau ilmu-ilmu alam
menghasilkan hukum alam yang berlaku umum dan pasti, sedangkan sejarah
menghasilkan generalisasi yang tidak sepasti ilmu-ilmu alam. Kesimpulannya,
sejarah bukan termasuk ilmu nomotetis (ilmu-ilmu alam).
2. Ilmu Ideografis/Humaniora
Ralph
Barton Perry yang mengutip Webster’s New
International Dictionary menyebutkan bahwa ilmu-ilmu kemanusiaan itu adalah
cabang-cabang dari pengetahuan “santun” (Polite
Learning). Pada kutipan kamus Education
and Intruction menyebutkan bahwa ilmu-ilmu kemanusiaan itu terdiri dari
cabang-cabang kajian tertentu yang mempunyai kecenderungan untuk “memanusiakan”
manusia sebagai lawan dari ilmu-ilmu fisika yang berkecenderungan untuk
mengembangkan kemampuan-kemampuan intelektual manusia.
Pada
dasarnya ilmu-ilmu kemanusiaan mempelajari sejarah dari apa yang telah dibuat,
atau dipikirkan, atau diharapkan, atau bahkan kegagalan manusia melalui
penelitian objek-objek yang dibentuk oleh pengalaman dan imajinasi manusia.
Pokok-pokok kajian humaniora ialah filsafat, interpretasi tentang sastra dan
sejarah, kritik tentang seni, musik, dan teater yang semuanya membahas tentang
batas-batas, kedalaman-kedalaman, dan kapasitas-kapasitas dari semangat
manusia.
Dalam
perkembangan kemudian yang termasuk humaniora ialah bahasa (termasuk sastra dan
komposisi atau retorik), filsafat, musik, seni-seni visual, dan sejarah.
Humaniora menekankan pada:
a.
Keunikan manusia dalam alam
Manusia sendiri melalui
intelegensinya mampu mengontrol perkembangan fisik dan mental, menjawab
pertanyaan-pertanyaan dasar tentang eksistensi, menemukan pola-pola dasar dari
kehidupan, serta menikmati suatu pelepasan kreatif dari emosi-emosi.
b. Pencarian manusia akan
nilai-nilai
Dalam pencarian ini manusia menggunakan
daya-daya kreatifnya. Salah satu nilai terpenting yang ditekankan oleh
humaniora ialah individualitas. Mengajarkan siswa-siswa akan pentingnya
perbedaan-perbedaan manusia disamping persamaan-persamaan. Konsekuensinya
proyek-proyek kreatif acapkali membentuk suatu bagian yang penting dalam
program-program ilmu kemanusiaan. Setiap siswa menyatakan dirinya (ekspresi)
dengan menggubah musik atau mengarang sastra, membuat patung dan melukis,
dengan menghasilkan fotografi-fotografi seni, atau dengan membaca karya-karya
sejarah atau belajar menulis sejarah, paling sedikit yang terakhir dengan
membuat laporan-laporan.
a) Sejarah Bisa
Masuk Humaniora
Acapkali sejarah disebut
sebagai “seni dan ilmu”. Sebagai seni, sejarah termasuk humaniora, sedangkan
sebagai ilmu, sejarah termasuk salah satu dari ilmu-ilmu sosial. Sejarah
sebagai seni memerlukan suatu penjelasan khusus lebih daripada apa yang sudah
disebutkan bahwa sejarah merupakan salah satu komponen ilmunya. Objek kajian
sejarah adalah manusia, sejarah adalah hasil rekonstruksi sejarawan mengenai
pengalaman masa lampau manusia berdasarkan atas sumber-sumber tercatat
(tertulis, lisan, karya-karya seni), atau relik-relik. Pengumpulan
sumber-sumber, kritikan terhadap sumber-sumber merupakan kegiatan ilmiah. Dalam
dua kegiatan berikutnya yaitu penafsiran dan penulisan sejarah itu sendiri yang
disebut historiografi, sejarawan harus menggunakan bahasa, retorika. Deskripsi
tentang peristiwa-peristiwa dan pelaku sejarah semua menggunakan menggunakan
media bahasa sehingga menghasilkan suatu narasi sejarah yang menarik dan
bermakna. Penggunaan retorika membuat sejarah erat sekali hubungan dengan
sastra sehingga sejarah dianggap sebagai suatu seni dan karena itu, termasuk
dalam humaniora.
Dalam pandangan Sejarah
sebagai seni, sejarawan tidak bisa sembarangan menghadirkan peristiwa sejarah
sebagai kisah sejarah. Kisah sejarawan akan memiliki daya tarik tersendiri
apabila sejarawan memiliki intuisi, imajinatif, emosi dan gaya bahasa yang
baik. Intuisi diperlukan oleh sejarawan saat memilih topik hingga merangkai
seluruh fakta menjadi sebuah kisah. Imajinatif sejarawan digunakan untuk menyusun
fakta-fakta sejarah yang berhasil ditemukan agar menjadi utuh dan bulat
sehingga mudah dipahami. Kontruksi atau gambaran sejarawan tentang sebuah
peristiwa jelas tidak bisa sama persis dengan peristiwa yang sebenarnya
sehingga sejarawan membutuhkan imajinatif untuk merangkai fakta-fakta sejarah
yang sudah tersedia. Oleh karena itu, sejarawan memiliki emosi untuk menyatukan
perasaan dengan objeknya agar para pembaca seolah-olah terlibat langsung dengan
suatu peristiwa sejarah. Akhirnya, seluruh pengisahan sejarah harus didukung
dengan penggunaan gaya bahasa yang lugas dan hidup.
3. Ilmu Sosial/Tingkah
Laku
Sebenarnya
sejarah mempunyai kedudukan unik di dalam rumpun ilmu-ilmu sosial. Meskipun
sejarah termasuk sebagai salah satu dari ilmu-ilmu sosial, namun antara sejarah
dan ilmu-ilmu sosial lainnya masih dapat dibedakan sebagai berikut.
Tabel 1. Perbedaan
antara sejarah dan ilmu-ilmu sosial
No
|
Sejarah
|
Ilmu-Ilmu Sosial
|
1
|
Masa lampau (past)
|
Masa Kini (present)
|
2
|
Temporal spasial
|
Atemporal-aspasial
|
3
|
Diakronik
|
Sinkronik
|
4
|
Ideografik
|
Nomotetik
|
5
|
Partikularistik
|
Generalistik
|
6
|
Terjadi sekali
|
Terjadi berulang-ulang
|
7
|
Tidak teratur
|
Beraturan
|
8
|
Tidak dapat dieksperimen dan diuji ulang
|
Dapat dilakukan eksperimen dan diuji ulang
|
9
|
Tidak untuk meramal
|
Dapat untuk meramal/prediksi
|
Kajian
sejarah terikat pada waktu (temporal), terutama pada kelampauan. Faktor waktu
ini yang amat membedakan sejarah dengan ilmu-ilmu sosial lain sehingga sering
dikatakan bahwa sejarah adalah kajian yang berkaitan dengan manusia (individu
dan masyarakat) pada masa lampau, sedangkan ilmu-ilmu sosial adalah kajian
tentang manusia pada masa sekarang. Tidak jarang kajian dari ilmu-ilmu sosial
digunakan untuk kepentingan masa yang akan datang, atau untuk meramalkan
kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi pada masa-masa yang akan datang.
Tetapi perlu ditegaskan bahwa dalam kajian masa lalu dari sejarah terkandung
didalamnya pengertian proses dan perspektif sejarah, artinya bukan masa lalu untuk
kepentingan masa lalu melainkan masa lalu sebagai titik tolak untuk masa
sekarang dan selanjutnya. Karena pengertian yang implisit ini seringkali
sejarah dianggap dapat juga digunakan untuk memprediksi masa yang akan datang
meskipun para praktisi sejarah sendiri tidak begitu peduli atau paling tidak
hanya menunjukan kecenderungan (trends).
Selain
faktor waktu, kajian sejarah terikat pada tempat (spasial) tertentu. Suatu
peristiwa atau kejadian-kejadian yang berhubungan dengan manusia pasti terjadi
disuatu tempat tertentu. Jika ditanyakan kapan dan dimana terjadi peristiwa
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, misalnya, jawabannya pasti tanggal 17 Agustus
1945, hari jumat pukul 10.00 bertepatan dengan bulan puasa dan di Jakarta. Jadi
tempat proklamasi itu Jakarta, bukan kota-kota lain. Sedangkan bagi ilmu-ilmu
sosial kelampauan dan tempat khusus tidak terlalu dihiraukan, peristiwa
proklamasi itu dapat terjadi dimana saja dan kapan saja.
Selajutnya
antara sejarah dan ilmu-ilmu sosial lain berbeda dalam pendekatan atau
perspektif. Jika sejarah menggunakan perspektif diakronik (menekankan proses),
maka ilmu-ilmu sosial menggunakan perspektif sinkronik (menekankan struktur).
Artinya, sejarah itu memanjang dalam waktu, sedangkan ilmu sosial meluas dalam
ruang. Kajian sejarah meskipun tidak identik dengan kronik, tetapi kaitan
kronologis dari kejadian-kejadian sangat penting sehingga seperti garis vertikal
(diakronik). Sebaliknya ilmu-ilmu sosial mencoba melihat fenomena peristiwa
yang hampir sama pada tempat yang berbeda atau pada waktu yang berbeda-beda
sehingga kelihatannya sebagai garis mendatar atau horizontal. Dengan analisis,
pendekatan sinkronik dapat mengungkapkan hubungan dan saling ketergantungan
fungsi unsur-unsur sehingga fenomena sebagai suatu kesatuan dapat ditandai
dengan tepat.
Sejarah
akan lebih menekankan pada kekhasan atau kekhususan dari setiap peristiwa, kita
ambil contoh Perkembangan Sarekat Islam di Solo, 1911-1920; Terjadinya Perang
Diponegaro, 1925-1930; Revolusi Fisik di Indonesia, 1945-1949; Gerakan Zionisme
1897-1948 dan sebagainya. Contoh lainnya seperti revolusi atau Perang
Kemerdekaan Amerika Tahun 1776, Perancis tahun 1789, Rusia tahun 1917, dan
Indonesia 1945. Revolusi Amerika dikaji lebih mendalam mengenai sebab-musabab
serta perkembangan revolusi sehingga tampak kekhasan jika seandainya
dibandingkan dengan revolusi negara-negara lain dimana di Amerika ada konflik
kepentingan antara para kolonis yang ingin melepaskan diri dan merdeka dengan
negeri induk Inggris yang tetap ingin mempertahankan koloninya, di Perancis
terjadi konflik kepentingan antara rezim lama yang absolut dan golongan kelas
menengah (borjuis) yang ingin
berkuasa secara politis, di Rusia terjadi konflik perebutan kekuasaan antara
Prokomunis dan anti komunis, dan di Indonesia ada konflik antara kolonialis Belanda
yang ingin kembali menjajah dengan bangsa Indonesia yang baru merdeka dan ingin
tetap mempertahankan kemerdekaannya.
Oleh
karena itu, sejarah disebut juga kajian ideografik atau partikularistik,
kekhasan. Sejarah melukiskan dan menafsirkan suatu peristiwa yang hanya satu
kali saja. Sebaliknya, kajian ilmu-ilmu sosial akan menekankan kepada fenomena
yang sama di semua negara sehingga dapat ditarik suatu hukum yang dapat berlaku
umum. Sebab itulah, kajian ilmu-ilmu sosial disebut juga kajian nomotetik atau
generalistik, keumuman. Ilmu-ilmu sosial mencoba mencari hukum-hukum yang
berlaku umum sehingga kalau misalnya ada gejala-gejala konflik politik atau sosial
yang terjadi dalam suatu negara atau masyarakat, maka dapat diramalkan suatu
revolusi atau perang akan dapat terjadi.
Pembagian
dua hal diatas antara sejarah dan ilmu-ilmu sosial mempunyai kelemahan yang
mendasar yaitu mengkotak-kotakkan
ilmu-ilmu seolah satu sama lain tidak mempunyai hubungan. Kenyataan tidak demikian
sebab kedua belah pihak saling memerlukan. Sejarah bukan tidak mengenal
generalisasi karena dalam membuat deskripsi, narasi atau analisis mengenai
revolusi yang terjadi di Amerika, sejarah juga membuat kesimpulan akhir
meskipun kesimpulan itu akan menunjukan kekhasan dari masing-masing revolusi,
namun materi-materi sejarah itulah yang digunakan oleh para ilmuwan sosial
untuk mengambil kesimpulan umum dan merumuskan generalisasi atau teori atau
hukum umum yang dapat digunakan untuk meramalkan peristiwa-peristiwa politik
atau sosial pada masa yang akan datang. Meskipun sejarah tidak menemukan
hukum-hukum umum, namun sejarah menerapkan hukum-hukum umum tersebut untuk
menjelaskan kekhususan-kekhususannya.
a) Sejarah Bisa
Masuk Ilmu Sosial Bila Memanfaatkan Aspek Why
Sejarah adalah sekaligus
seni dan ilmu. Sebagai seni, sejarah dimasukan dalam sastra karena penggunaan
narasi yang dominan. Herodotus (484-425
SM) sebagai bapak sejarah malah telah memulai sejarah itu sebagai cerita dan
sejak itu sejarah dimasukan ke dalam ilmu-ilmu kemanusiaan (humaniora).
Sejarah dapat
digolongkan sebagai ilmu apabila ia memiliki syarat-syarat dari suatu ilmu
pengetahuan atau syarat-syarat ilmiah. Syarat-syarat keilmuan yang dimaksud
adalah:
·
Ada objek masalahnya
·
Memiliki metode
·
Tersusun secara sistematis
·
Menggunakan pemikiran yang rasional
·
Memiliki kebenaran yang objektif
Sebagai science, sejarah adalah ilmu karena
mempunyai metodologi penelitian ilmiah yang bisa dipertanggungjawabkan. Langkah-langkah
heuristik, kritik-kritik sumber dan penulisan sejarah serta interpretasi adalah
metode-metode objektif ilmiah yang umum sekali dalam penelitian sejarah.
Interpretasi misalnya, dimana di dalamnya terdapat unsur menyeleksi fakta
sehingga sesuai dengan keseluruhan yang hendak disusun. Disini pertanyaan
mengapa (why) sangat membantu dalam
melakukan historiografi dan interpretasi karena menuntun kepada alur yang masuk
akal dan pemilihan bukti yang sesuai dengan fakta sejarah.
Menurut Abu Su’ud dalam
Buku Tiga Keranjang (Tripitaka) Sejarah), ada ungkapan terkenal dari Taine yang
berbunyi : “Apresia collection des fails,
la recherche des causes”, yang berarti ‘Setelah pengumpulan fakta, tinggal
mencari penyebabnya’. bahwa sejarah adalah suatu rangkaian sebab
akibat, meskipun pada dasamya orang sulit sekali menemukan faktor yang dianggap
sebagai penyebab yang paling utama. Ungkapan semacam itu bisa disebut sebagai
prosedur sejarah. Dengan kata lain, sejarah adalah terdiri dari fakta. Dan
rangkaian fakta tsb. dapatlah diketahui rangkaian sebab akibat yang dapat
memberikan kejelasan bagi rangkaian fakta tsb.
Kemudian sebagai ilmu,
sejarah termasuk sebagai salah satu ilmu-ilmu sosial karena fokus kajiannya
adalah manusia (sebagai individu maupun dalam kelompok masyarakat seperti yang
dikaji oleh sosiologi, psikologi, antropologi, politilogi, geografi, ekonomi
dan sebagainya). Bahkan sejarah termasuk ilmu sosial tertua yang embrionya
telah ada dalam bentuk-bentuk mitos dan tradisi-tradisi dari manusia-manusia
yang hidup paling sederhana. Tentu saja cara pendekatannya dalam mengkaji
manusia itu tidak sama meskipun harus diakui bahwa dalam perkembangan ilmu
sejarah pada abad ke 20-21 ini antara sejarah dan ilmu-ilmu sosial sudah lebih
saling mendekati, malah proses hubungan berdampingan antara sejarah dengan
ilmu-ilmu sosial. Dalam kerja samanya,
ilmu-ilmu sosial menggunakan pendekatan historis untuk dapat menggungkapkan
kecenderungan-kecenderungan serta pola-pola umum sebelum dapat melakukan
ramalam-ramalan (prediksi) masa yang akan datang.
B. Fungsi Sejarah
1. Fungsi Genealogis,
Sebagai Catatan yang Membanggakan
Dalam
hal ini sejarah berisi rangkaian fakta yang dianggap menarik untuk dikisahkan
dari generasi ke generasi. Sejarah hanya berisi hal-hal tentang what, who, when, where serta how. Sejarah dengan demikian lebih merupakan hasil sastra atau buah
karya seni manusia, yang amat patut dikisahkan atau didongengkan (history as art). Oleh karena fungsinya
sebagai genealogis maka sejarah bersifat informatif dan disajikan secara
deskriptif.
2. Fungsi Didaktis,
Sebagai Alat Pendidikan Politik
Fungsi
didaktis berkaitan dengan fungsi sejarah sebagai alat pendidikan. Banyak manusia yang
belajar dari sejarah. Belajar dari pengalaman yang pernah dilakukan. Pengalaman
tidak hanya terbatas pada pengalaman yang dialaminya sendiri, melainkan juga
dari generasi sebelumnya. Dengan belajar sejarah seseorang akan senantiasa
berdialog anatara masa kini dan masa lampau sehingga bisa memperoleh
nilai-nilai penting yang berguna bagi kehidupannya. Nilai-nilai itu dapat
berupa ide-ide maupun konsep kreatif sebagai sumber motivasi bagi pemecahan
masalah kini dan selanjutnya untuk merealisasikan harapan masa yang akan
datang.
Penyajian
bahan sejarah dipilih fakta mengenai pengalaman masa lalu yang membanggakan,
menyedihkan, dan sebagainya yang dikomunikasikan kepada generasi baru untuk
tujuan mengobarkan semangat. Berbagai nilai luhur (ideal) bangsa ingin
ditanamkan lewat sejarah, agar terjadi proses sosialisasi dalam generasi baru
guna menunbuhkan semangat kepahlawanan, patriotisme, nasionalisme, dan
sebagainya. Sejarah mengandung pendidikan politik karena peristiwa tertentu
menyangkut tindakan politik atau kegiatan bersifat politik.
3. Fungsi Kajian
Ilmu, Sebagai Bahan Kajian Keilmuan
Aliran
Sejarah Baru (New Historism) amat
menekankan pada perlunya penyajian fakta sejarah secara lebih objektif, apa
adanya, dan lugas. Sejarah oleh karenanya harus tidak usah dikaitkan dengan
usaha mendidik (didaktik) untuk membangkitkan semangat kepahlawanan dan
sebagainya pada generasi baru. Untuk itu, sejarah harus disusun atas dasar
fakta yang sesungguhnya terjadi, sehingga diperlukan proses studi sejarah
kritis. Proses yang dilakukan dengan demikian adalah mengumpulkan data,
nenyeleksi, menganalisis, menafsirkan dan menyajikannya dalam buku sejarah (history as writen). Proses yang demikian
ini memang menunjang untuk terjadinya sejarah sebagai ilmu (history as science), yang bersifat
obyektif. Namun tidaklah mudah untuik menyajikan sesnatu tulisan sejarah yang
bebas dari subyektivitas penulis, karena berbagai alasan seperti kepribadian,
ras, agama kelompok etnis, kelompok kepentingan kebudayaan dan sebagainya.
C. Kebenaran Sejarah
1. History as a
Fact (Sejarah Sebagai Fakta)
a) Obyektivitas
Sejarah
Peristiwa-peristiwa yang
terjadi pada masa lampau merupakan materi yang sangat penting bagi ilmu
sejarah. Melalui peristiwa-peristiwa tersebut, ilmu sejarah mendapat suatu
gambaran tentang kehidupan manusia pada masa lampau, atau dapat mengetahui
sebab-akibat terjadinya suatu peristiwa. Namun, tidak semua peristiwa sejarah
mempunyai bukti yang tertulis, ada pula yang berasal dari bukti lisan maupun
benda-benda peninggalannya. Istilah History as Facts dapat
disederhanakan sebagai kenyataan yang sedang berlangsung. Pengabadian sejarah serba objek terdapat dalam
sumber sejarah meskipun serba tidak sempurna. Seolah-olah sumber-sumber itu
merupakan gudang bahan sejarah. Sejarah sebagai kenyataan (serba-objek) hanya
dapat diketahui dengan mempergunakan bahan yang tersimpan di dalam gudang itu.
Tanpa pengabadian, tanpa sumber-sumber sejarah tidak mungkinlah sejarah
serba-objek atau sejarah yang sebenarnya dapat diungkap artinya (Ali, 2005:
21).
Berbicara tentang sejarah
sebagai fakta dan sejarah yang tertulis berarti kita membicarakan tentang
Sumber Sejarah. Dasar dari penggunaan sumber sejarah adalah cita-cita mencari
kebenaran tentang kejadian peristiwa yang sudah terjadi. Penggunaan itu harus
menghasilkan ketentuan-ketentuan tentang kejadian-peristiwa atau ketentuan
tentang Facts atau fakta. Sudah barang tentu fakta yang
didapatkan dari sumber-sumber sejarah adalah benar apabila sumber-sumber itu
sendiri benar. Benar dalam arti dapat dipercaya, tidak palsu, atau shahih,
yaitu tidak ada cacatnya, sehat atau kurang suatu apa pun (Ali, 2005: 22). Sebagai
contoh, di Muara Kaman (Kalimantan Timur diketemukan beberapa buah prasasti
(batu tulis). Penyelidikan pertama diarahkan kepada yang shahih yaitu memeriksa
bentuk huruf serta isi cerita yang dituliskan pada batu itu. Bentuk huruf pada
prasasti itu menunjukkan abad ke-5 Masehi sebagai masa dibuatnya prasasti itu.
Isi prasasti itu melukiskan adat kebiasaan yang lazim pada abad itu. Maka,
berdasarkan persamaan itu prasasti tersebut dapat dipercaya.
Penyelidikan tentang
sumber-sumber sejarah adalah suatu keharusan ilmiah sebelum isi sumber-sumber
itu diselidiki dan akhirnya dipergunakan. Setelah kebenaran suatu sumber
terbukti, timbullah masalah cara mempergunakan sumber itu. Apakah yang dapat
kita ketahui dan apakah sumber tersebut dapat dipergunakan? Fakta apakah yang
dapat kita himpun dari sumber itu?. Pencarian sumber sejarah ditentukan oleh
minat dan perhatian orang pada suatu zaman. Oleh sebab itu, sumber-sumber itu
hanya terbatas pada beberapa pokok tertentu. Isi itulah yang harus diambil inti
sarinya sebagai fakta. Apabila sumber sejarah merupakan pengabadian sebagian
kecil dari keseluruhan kejadian dan peristiwa yang betul-betul pernah terjadi
maka apakah Fakta sejarah itu?. Fakta sejarah adalah intisari dari
sumber-sumber sejarah, fakta-fakta itu disimpulkan dari sumber-sumber sejarah.
Fakta sejarah adalah peristiwa-peristiwa yang benar-benar terjadi. Tinggal
bagaimana seorang sejarawan memaknainya (Ali, 2005: 25).
2. History as
Written (Sejarah Sebagaimana yang Tertulis)
History as Writen adalah sejarah yang ditulis. Suatu fakta sejarah tidak
akan bermakna, jika peristiwa yang terjadi hanya ditulis apa adanya. Menurut
Moh. Ali, fakta-fakta sejarah yang belum diberi rangka daging dan jiwa sejarah
belum bisa dikatakan sebagai sejarah. Fakta-fakta sejarah tersebut belum
merupakan sejarah dalam arti yang sebenarnya, sebab fakta-fakta itu sebenarnya
hanya bahan mentah yang harus dimasak terlebih dahulu. Jika suatu peristiwa
sejarah hanya ditulis sebagaimana adanya maka peristiwa tersebut belum memiliki
arti (Ali, 2005: 27).
a) Subyektivitas
Penulis
Wujud sejarah serba-objek
adalah cerita, yaitu cerita yang menghubungkan fakta-fakta itu
sedemikian rupa sehingga terdapatlah suatu keseluruhan atau kesatuan. Kesatuan
fakta-fakta itu dihimpun menurut pendapat penyusun. Adapun pendapat penyusun itu
sendiri sebenarnya merupakan pendiriannya sebagai seseorang yang mempelajari
sejarah. Dalam penulisan sejarah, kemampuan seorang sejarawan (penulis sejarah)
sangat diutamakan. Karena dari coretan tangan dan buah pikirannya yang mendalam
akan tersajikan cerita sejarah yang bermakna, menarik dan menimbulkan keinginan
orang untuk membaca hasil karya sejarah tersebut hingga usai. Suatu peristiwa
atau fakta sejarah yang sama, mungkin akan lain ceritanya karena yang menulis
berbeda.
Subyektivitas penulis
menentukan tulisan sejarah tersebut. Seolah-olah penyusun cerita itu berdiri
pada suatu tempat tertentu dan dari tempat itu ia melihat dan meninjau
kejadian-peristiwa yang terdapat di dalam fakta-fakta itu. Tempat di mana ia
berdiri itu menentukan sifat-sifat apa yang terlihat olehnya. Hal-hal pokok
yang dapat menjadikan subyektivitas penulis dalam menyusun cerita sejarah
adalah sebagai berikut:
a.
Daerah, yaitu negeri (kebangsaan), wilayah (provinsi
dan sebagainya), alam (pegunungan, tanah datar, pedalaman atau kawasan pantai).
b.
Golongan, yaitu termasuk
bangsa apakah penjajah, terjajah, negara-negara besar atau negara kecil, suku,
partai atau agama.
c.
Zaman, yaitu dalam abad keberapakah penulis itu
hidup.
d.
Kepribadian, yaitu asal-usul, pendidikan dan
lingkungannya.
Gabungan dari pokok-pokok
1, 2, 3, dan 4 itu menentukan pendirian seseorang dalam arti seluas-luasnya.
Maka jelaslah bahwa daerah asal, golongan, zaman dan kepribadian penyusun
menentukan bentuk dan isi cerita. Betapa pun besar usaha orang untuk menulis
dengan sejujur-jujurnya, ia tidak mungkin membuat lukisan sejarah yang seratus
persen jujur (Ali, 2005: 61).
b) Obyektivitas
Subyektif
Dapatkah seorang penulis
cerita sejarah menyusun cerita yang obyektif, yaitu suatu cerita yang
menceritakan segala hal-ihwalnya dengan setepat-tepatnya laksana film yang
sempurna. Obyektif laksana cermin yang dapat memberikan gambaran yang sama
sekali tidak berbeda. Sejarah yang obyektif dalam arti ini adalah melukiskan
fakta-fakta sejarah sedemikian rupa sehingga tercapailah kenyataan demikianlah
sesungguhnya yang terjadi. Apa yang tertulis dalam cerita sejarah sebenarnya
merupakan sebagian dari penggalan cerita yang sebenarnya terjadi pada masa
lalu.
Manusia sebagai penyusun
sejarah tidak mungkin memasukkan semua fakta sejarah ke dalam tulisannya.
Seorang sejarawan pasti telah memilah atau menyeleksi berdasarkan minat
perhatiannya sehingga menjadikan sejarah yang seharusnya serba-objek justru
tidak tampak. Maka kita bisa mengatakan bahwa tidak ada sejarah yang obyektif,
karena memang sudah semestinya sejarah itu subyektif yaitu menurut pandangan
penyusunnya. Subyektif dalam arti tertentu yaitu lukisan sejarah yang memiliki
jiwa yang mempunyai kepribadian yang kuat. Seringkali subyektif dipersamakan
dengan fantasi, khayalan, isapan jempol, pemalsuan. Cerita-cerita sejarah yang
dipandang obyektif sebenarnya bukan cerita yang mengandung gerak jiwa yang
bergelora dan menarik, bahkan sekedar suatu daftar waktu, suatu tabel atau
rangkaian tahun dan fakta (Ali, 2005: 63).
Subyektif dalam arti
yang sebenarnya berdasarkan kejujuran yaitu hajat dan tekat tidak akan berlaku
curang, tidak menipu, menyatakan sesuatu sebagai konsekuensi keyakinanya.
Dengan demikian, dalam penulisan sejarah diperlukan sikap serba tidak berat
sebelah meskipun obyek yang dipilih adalah sudah menunjukan subyektivitas dari
penulis itu sendiri. Sikap jujur itu hanya
mungkin apabila teropong pendirian itu dilengkapi dengan lensa kejujuran dan
disertai alat lain yakni “mikroskop penelitian” untuk menelaah, meneliti, menggali
dengan sesempurna, seteliti, sehalus dan setajam mungkin dengan maksud
mendapatkan fakta yang sebenarnya dan sebanyak-banyaknya.
c) Manipulatif
Sejarah yang manipulatif
itu apakah sejarah yang apa adanya ataukah sejarah yang serba menghilangkan
fakta yang artinya fakta sebenarnya ditutupi diganti dengan fakta lain ataukah
fakta sejarahnya sama akan tetapi pemaknaannya berbeda karena tujuan tertentu. Jawaban
yang mungkin paling mendekati kebenaran adalah fakta sejarah atau peristiwa
yang ditulis adalah nyata, riil karena sudah berlalu. Tetapi tujuan dan
penulisannya yang berbeda. Sebagai contoh, peristiwa G30S/PKI yang terjadi pada
tanggal 30 September 1965. Jelas telah terjadi manipulasi atau pembalikan fakta
tentang kejadian itu. Masih banyak multitafsir tentang peristiwa berdarah yang
menewaskan tujuh jenderal tersebut. Siapa tokoh atau dalang dibalik peristiwa
tersebut? Siapa yang diuntungkan dari peristiwa tersebut? Siapa yang
dikorbankan dalam peristiwa tersebut?. Pada akhirnya kita akan tahu seiring berjalannya
waktu bahwa peristiwa tersebut menjadikan Jenderal Soeharto kemudian menjadi
penguasa besar di negeri ini.
Manipulasi sejarah
biasanya digunakan oleh seorang penguasa suatu negeri untuk melanggengkan
kekuasaannya. Membalikkan semua fakta yang terjadi sebenarnya untuk
kepentingannya sendiri atau mungkin atas nama negara dan demi kepentingan
kelangsungan kehidupan negara itu sendiri. Contoh lain adalah peristiwa
Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta. Siapa sebenarnya tokoh intelektual
dibalik serangan umum tersebut? Apakah Letkol Soeharto atau menteri Pertahanan
dan Keamanan saat itu yang juga raja Yogyakarta yaitu Sultan Hamengkubuwono
IX?. Sejarah dapat
dimanipulasi itulah kenyataannya. Siapa yang melakukannya? Tentu penguasa
melalui tangan-tangan penyusun sejarah (sejarawan) yang mungkin sudah dipesan,
di intimidasi untuk membuat cerita manipulatif. Meskipun seorang sejarawan
memiliki independensi, akan tetapi jika ia dihadapkan kepada suatu kenyataan
atau kekuasaan yang begitu besar maka kemungkinan manipulasi dapat terjadi.
BAB
III
PENUTUP
A. Simpulan
Sejarah memiliki perbedaan mendasar dengan ilmu alam yang dimana
dapat melakukan percobaan berulang-ulang. Sejarah sangat tergantung pada
pengalaman manusia dan tidak dapat mengulangi percobaan. Generalisasi sejarah
juga tidak sepasti ilmu alam. Sejarah adalah kajian yang berkaitan dengan
manusia (individu dan masyarakat) pada masa lampau, sehingga kajian sejarah
terikat dengan waktu (temporal). Dalam kajian masa lalu dari sejarah terkandung
didalamnya pengertian proses dan perspektif sejarah, artinya bukan masa lalu
untuk kepentingan masa lalu melainkan masa lalu sebagai titik tolak untuk masa
sekarang dan selanjutnya.
Oleh karenanya, sejarah memiliki fungsi diantaranya sebagai
catatan yang membanggakan atas peristiwa atau kejadian masa lampau yang dapat
diabadikan melalui catatan berupa tulisan indah, sebagai alat pendidikan
politik kepada generasi berikutnya dimana pembelajaran dan pengalamannya
diambil dari peristiwa politik yang pernah terjadi sehingga generasi berikutnya
memperoleh bekal pengetahuan dalam menyikapi setiap kegiatan politik. Fungsi
berikutnya sejarah sebagai bahan kajian keilmuan, dalam hal ini sejarah harus disusun atas dasar fakta
yang sesungguhnya terjadi, sehingga diperlukan proses studi sejarah kritis.
Penyajian
fakta sejarah secara lebih objektif, apa adanya, dan lugas sehingga diharapkan
dapat mengungkapkan kebenarannya. Akan tetapi, penulisan suatu kisah sejarah
bisa mengarah pada history as a fact
atau history as written. History as a fact berarti penulisan
sejarah didasarkan pada fakta-fakta yang ada. Sebaliknya, history as written dipahami bahwa suatu fakta sejarah tidak
akan bermakna, jika peristiwa yang terjadi hanya ditulis apa adanya. Oleh karena
itu, kebenaran sejarah sangat tergantung dari penulis, apakah menggunakan
subyektivitasnya ataukah menuliskan dengan sejujurnya berdasarkan fakta yang
terjadi atau serba menghilangkan fakta yang artinya fakta sebenarnya ditutupi
diganti dengan fakta lain, ataukah fakta sejarahnya sama akan tetapi
pemaknaannya berbeda karena tujuan tertentu.
B. Saran
Sebagai warga negara yang baik dan bagian dari negara, kita tidak
boleh melupakan sejarah. Kita harus senantiasa selalu belajar sejarah karena
dari peristiwa sejarah kita bisa memperoleh pengalaman dan bekal ilmu sebagai
pedoman membangun bangsa di masa depan. Akan tetapi, kita harus memaknai
sejarah secara objektif dan bijak agar tidak salah langkah dalam menentukan
keputusan demi kemajuan bangsa.
DAFTAR
PUSTAKA
Ali, R. Moh. 2005. Pengantar Ilmu
Sejarah Indonesia. Yogyakarta: LKiS.
Su’ud, Abu. 2005. Tiga Keranjang. Semarang.
http://mustwiebagoes.blogspot.com/2013/12/history-as-fact-history-as-writen.html
tanggal 8 Oktober 2014.
http://hadiwiyono.blogspot.com/2013/11/penggerak-perubahan-dan-posisi-sejarah.html;
tanggal 29 September 2014 jam 14:57.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar